Nasional

LKNU: Menyelamatkan Jiwa Harus Jadi Prioritas Rumah Sakit di Atas Persoalan Administratif

Rabu, 12 November 2025 | 18:00 WIB

LKNU: Menyelamatkan Jiwa Harus Jadi Prioritas Rumah Sakit di Atas Persoalan Administratif

Ketua Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU), M. Zulfikar As’ad. (Foto: dok. LKNU)

Jakarta, NU Online

Kasus yang sempat menimpa warga adat Baduy bernama Repan terluka usai dibegal sekelompok orang tak dikenal di kawasan Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada Ahad (26/10/2025) pagi. Remaja 16 tahun itu sempat mendatangi salah satu rumah sakit untuk mengobati tangan kirinya yang terluka.


Namun, pihak rumah sakit disebut menolak mengobatinya karena dia tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kasus ini memicu sorotan publik terhadap sistem layanan kesehatan yang dinilai masih mendiskriminasi masyarakat adat.


Ketua Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU), M. Zulfikar As’ad, menegaskan bahwa rumah sakit dan fasilitas kesehatan tidak seharusnya menolak pasien dalam kondisi darurat hanya karena persoalan administrasi seperti tidak memiliki KTP. Menurutnya, penyelamatan jiwa manusia harus menjadi prioritas utama di atas kepentingan administratif.


“Layanan rumah sakit atau fasilitas kesehatan itu, terutama dalam kondisi emergency, seharusnya yang diutamakan adalah menyelamatkan jiwa. Baru setelah itu diurus hal-hal lainnya. Jadi prioritas itu tanpa melihat siapa dia, yang penting selamat dulu jiwanya, yang lain-lain akan menyusul,” ujarnya kepada NU Online, Rabu (12/11/2025).


Zulfikar menilai, pemerintah dan lembaga kesehatan perlu berkoordinasi dengan para kepala adat untuk memastikan masyarakat adat tetap bisa mengakses layanan kesehatan tanpa harus melanggar kepercayaan atau aturan mereka.


“Perlu kerja sama banyak pihak, terutama antara warga dengan ketua adat atau kepala suku untuk mengkomunikasikan hal ini. Kita tahu, mereka mungkin tidak mau berurusan dengan dokumen seperti KTP atau identitas lainnya. Ini perlu ada titik temu antara pemerintah daerah dengan pihak adat,” katanya.


Menurutnya, meski masyarakat adat tidak memiliki dokumen resmi, mereka tetap bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berhak atas pelayanan kesehatan.


“Mereka tetap warga-warga NKRI. Mungkin tidak memiliki dokumen sebagaimana warga lain, tetapi perlu ada dukungan dan catatan dari pihak terkait, misalnya melalui data desa atau kecamatan tempat mereka tinggal,” jelasnya.


Zulfikar juga mendorong pemerintah agar lebih proaktif mendata masyarakat adat dan menjamin akses kesehatan mereka. Ia menekankan pentingnya peran puskesmas dalam memberikan pelayanan preventif dan respons cepat terhadap kasus kesehatan di wilayah-wilayah terpencil maupun masyarakat adat.


“Saran saya, pemerintah harus proaktif mendata masyarakat adat. Kalau dari sisi KTP sulit, ya setidaknya punya data dasar. Sehingga kalau ada yang sakit, kita tahu dia warga mana atau dari suku apa. Pemerintah harus berupaya secara proaktif karena masyarakat adat ini memang memiliki kepercayaan yang berbeda, tapi mereka juga warga negara Indonesia,” tuturnya.


Ia berharap pemerintah dapat memastikan seluruh warga negara, termasuk masyarakat adat, memperoleh hak kesehatan tanpa diskriminasi.


“Pemerintah harus menjamin akses kesehatan bisa diperoleh semua warga. Termasuk pemberdayaan puskesmas agar lebih berperan dalam pencegahan dan pelayanan kepada masyarakat adat,” pungkas Zulfikar.