MBG Dinilai Menyimpang dari Tujuan Pemenuhan Gizi Anak: Penggunaan UPF hingga Lemahnya Pengawasan
Selasa, 18 November 2025 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ahli gizi Tan Shot Yen memberikan catatan terhadap implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai telah menyimpang dari tujuan awal peningkatan gizi anak. Dalam paparannya, ia menekankan bahwa program yang seharusnya meningkatkan kualitas SDM menuju Indonesia Emas 2045 justru terperosok ke dalam jebakan produk ultra-processed food (UPF) dan promosi industri pangan.
“MBG itu sejak awal bukan sekadar bagi-bagi makanan. Tujuannya memenuhi gizi harian dan membangun kebiasaan pangan sehat berbasis lokal. Tapi yang terjadi sekarang jauh dari itu,” ujar Tan dalam pemaparan secara daring melalui Zoo, Senin (18/11/2025).
Tan menyoroti penyediaan susu UHT aneka rasa dalam paket MBG yang menurutnya keliru dari sisi fisiologi, kesehatan masyarakat, hingga regulasi.
“Anak 1–5 tahun itu sudah selesai masa menyusu. Mengapa justru diberi susu hewan bergula dengan kandungan susu hanya 30 persen? Ini bukan kebutuhan gizi, tapi produk industri,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa lebih dari 80 persen penduduk Indonesia intoleran laktosa, sehingga konsumsi susu justru berpotensi memperburuk kesehatan anak. Di banyak negara, termasuk Jepang dan Mesir, kata Tan, “tidak ada susu ibu hamil” karena kebutuhan perempuan hamil adalah makanan utuh, bukan produk susu.
Tan menyebut adanya indikasi promosi silang dalam distribusi produk pangan yang justru mendorong konsumsi produk industri, bukan pangan lokal bergizi.
“Apa yang dibagi di MBG itu jadi rujukan anak. Kalau dapat roti gandum dan susu coklat, nanti dia anggap semua biskuit itu sama. Literasi gizinya turun, tapi industri yang diuntungkan,” katanya.
Ia juga menyoroti masuknya roti berbahan gandum impor yang tidak relevan dengan konteks pangan nasional. “Sejak kapan kita negara penghasil gandum? Indonesia kaya karbo lokal yaitu beras aneka warna, singkong, ubi, kimpul. Tapi yang masuk justru produk UPF,” ujarnya.
UPF, obesitas, dan gangguan belajar
Tan memaparkan hasil studi internasional yang menunjukkan bahwa UPF meningkatkan risiko obesitas, gangguan metabolik, hiperaktif, turunnya performa akademik, hingga penyakit kardiovaskular pada anak.
“MBG itu seharusnya membuat anak fokus belajar. Kalau yang dibagikan malah UPF, maka prestasi akademiknya justru turun. Itu sangat berbahaya,” tegasnya.
Ia juga menyinggung tingginya kadar gula dan garam dalam produk-produk MBG yang dapat merusak imunitas dan mikrobiota usus.
Tan menyebut kasus keracunan pangan dalam program MBG bukan sekadar insiden teknis, tetapi buah dari lemahnya standar higienitas dan kurangnya pengawasan berkala.
“Penanggulangan sangat minim. Banyak dapur belum siap. Ini bukan hal kecil bayangkan kalau anak Anda yang kena,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa perbedaan data antara lembaga seperti IPB, BGN, dan Kemenkes menunjukkan ketidakmatangan regulasi di lapangan.
Menurut Tan, Indonesia memiliki kekayaan kuliner lokal yang sangat memadai untuk memenuhi standar gizi anak tanpa bergantung pada UPF.
“Kita punya ikan dari Aceh sampai Papua, ayam, daging, telur, otak-otak, lemper, lumpia, jajanan pasar. Semua bisa dibuat higienis dan tahan lama. Masalahnya bukan menunya, tapi kemauan untuk kembali ke pangan lokal,” jelasnya.
Oleh karena itu, Tan mengajukan serangkaian rekomendasi reformasi MBG sebagai berikut.
- Hentikan peredaran produk industri (UPF, roti gandum impor, susu rasa).
- Gunakan menu lokal berbasis pangan segar dan budaya makan daerah.
- Prioritaskan wilayah 3T yang paling membutuhkan perbaikan gizi.
- Diperkuat pengawasan, evaluasi, dan supervisi berkala bukan menunggu korban muncul.
- Kolaborasi dengan Puskesmas untuk memastikan higienitas dapur.
- Transparansi anggaran dan penyediaan untuk mencegah promosi silang industri.
- Edukasi gizi untuk anak dan orang tua, agar memahami pangan sehat, bukan produk.
“Kalau MBG mau benar-benar meningkatkan kualitas bangsa, maka harus kembali pada esensi: pangan lokal, bergizi, aman, dan edukatif. Bukan industri yang mengarahkan menu anak-anak kita,” tegas Tan.
Sementara itu, Koordinator Kemitraan Eksternal MBG Watch Dzatmiati Sari menilai Program Makan Bergizi Gratis masih bermasalah dari sisi tata kelola dan transparansi.
“Program ini adalah proyek. Karena namanya proyek, pasti ada yang untung dan ada yang diuntungkan. Kenapa proyek? Karena dia nggak punya perencanaan dan tata kelola yang matang," ujarnya.
Ia menyebut persoalan keracunan hanyalah puncak masalah, sementara persoalan terbesar ada pada perencanaan dan korupsi.
“Keracunan itu cuma hulunya. Ada yang lebih besar di hilirnya, yaitu soal tata kelola dan korupsinya. PBHI juga sudah terima laporan markup harga sampai vendor-vendor fiktif," ungkapnya
Dzatmiati juga mengkritik penyusunan menu dan standar gizi yang tidak ditangani oleh tenaga ahli. “Orang-orang yang nggak pernah ngomongin soal makanan bergizi kok harus menyiapkan menu. Itu merugikan anak-anak kita," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa hasil kajian masyarakat sipil menunjukkan banyak kerentanan korupsi dalam program ini.
“Corruption risk assessment menilai kerentanan korupsi di MBG itu sangat tinggi, dengan sembilan kerentanan mulai dari regulasi sampai pengawasan keamanan pangan," terangnya.
Menurutnya, hingga kini belum ada perbaikan nyata, meski anggaran justru terus membesar.
“Sampai hari ini tidak ada perbaikan. Tapi tahun 2026 anggarannya dinaikkan jadi sekitar Rp335 triliun. Ini proyek untung bagi mereka," katanya.
Dzatmiati menegaskan bahwa MBG seharusnya difokuskan sebagai investasi sosial jangka panjang, bukan sekadar janji kampanye. Karenanya, perencanaan matang mutlak dimiliki dengan penyesuaian pada kebutuhan penerima manfaat.