Melihat Ciri Beragama Seseorang saat Berada di Tengah Lalu Lintas
Rabu, 19 Agustus 2020 | 04:15 WIB
Jakarta, NU Online
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Ahmad Helmy Faishal Zaini menyebut bahwa seseorang yang mematuhi peraturan lalu lintas, berarti telah mampu menjadi umat beragama sekaligus warga negara yang baik.
Hal tersebut diungkapkannya pada diskusi daring bertajuk Mendefinisikan Ulang Nasionalisme: Indonesia di Tikungan Kebangsaan dan Keagamaan dalam rangka Refleksi Kemerdekaan RI ke-75 sekaligus peluncuran Khazanah GNH, Selasa (18/8).
“Saya sering menyitir ayat (Surat An-Nisa: 114). Bahwa ada tiga pekerjaan yang paling istimewa. Pertama, membantu fakir miskin dengan bersedekah. Kedua, berbuat baik. Ketiga, membangun satu transformasi peradaban menuju masyarakat yang bersatu,” ungkapnya.
Ia kemudian menitikfokuskan pada poin kedua, yakni berbuat baik. Menurutnya, contoh berbuat baik itu salah satu yang paling sederhana adalah soal penegakan peraturan perundang-perundangan tentang lalu lintas. Saat seseorang berhenti di lampu merah, itu sebenarnya sedang melaksanakan dua konteks.
“Pertama, konteks agama. Bahwa kalau kita menerabas lampu merah, pasti akan menimbulkan kekacauan yang itu berarti juga melanggar berbuat baik. Kedua, kita sedang melaksanakan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan negara,” kata pria kelahiran asli Cirebon ini.
Dengan demikian, lanjutnya, konsep NKRI bersyariah tidak lagi diperlukan. Sebab pada dasarnya, menjadi warga negara Indonesia yang baik adalah menjadi seorang muslim yang sejati. Agama sebagai inspirasi dan sumber nilai, sementara kebangsaan sebagai kiblat dalam kebudayaan.
“Soal hubungan antara dan negara ini, saya sering menyitir perkataan Gus Dur di dalam buku ‘Mengurai Hubungan Agama dan Negara’. Karena dalam sejarah perkembangan suatu negara, selalu akan terjadi tarik-menarik di dalam meletakkan hubungan agama dan negara,” jelas Kang Helmy, demikian ia akrab disapa.
Gus Dur sering menyampaikan bahwa selalu ada benturan polarisasi, terutama dalam tiga paradigma. Pertama, paradigma integralistik yang meletakkan agama dan negara dalam satu kesatuan. Bahkan, menjadikan hukum agama sebagai hukum negara.
“Kita bisa lihat misalnya Arab Saudi yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif dalam kehidupan kebernegaraan,” jelasnya.
Kedua, tambah Kang Helmy, paradigma sekularistik. Yakni sebuah paradigma yang memisahkan antara agama dan negara. Pada konteks ini, agama sama sekali tidak memiliki hubungan dengan negara.
“Ini sebenarnya pernah dipraktikkan oleh Pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Mustafa Kamal At-Taturk ketika khilafah utsmani runtuh dan segala sesuatu yang serba agama dihilangkan,” katanya.
Ketiga, paradigma simbiotik yang meletakkan hubungan agama dan negara secara harmoni. Menurut Kang Helmy, negara yang paling ideal dalam paradigma ini adalah Indonesia. Meskipun dalam khazanah Islam Indonesia, NU sudah mengembangkan soal konsep negara jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Yaitu pada tahun 1936 saat Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin. Ketika itu muncul pertanyaan, kita-kira bentuk negara yang cocok buat Indonesia itu apa? Lalu muncul tiga tawaran,” jelas Kang Helmy.
Ia melanjutkan, pertama ada yang menawarkan konsep Darul Islam (negara Islam) karena Indonesia sebagian besar penduduknya adalah Islam. Kedua, ada yang menyatakan Darul Harb (negara perang), lantaran saat itu masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
“Ketiga, saya kira ini yang diputuskan oleh para ulama kita bahwa pada akhirnya mereka mengusung Darussalam, negara damai. Konsep inilah yang sekarang kita bisa sebut sebagai negara bangsa,” katanya.
Jadi, Kang Helmy melanjutkan, bahwa konsep Darussalam atau negara damai merupakan inspirasi besar yang telah lahir di mana model keberagamaan dan kebangsaan tidak melulu dibentur-benturkan. Sehingga Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari mencetuskan jargon ‘hubbul wathan minal iman’. “Bahwa cinta tanah air adalah bagian dari perintah agama,” tandasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad