Langkah tegas yang ditempuh pemerintahan Joko Widodo dengan diterbitkannya Perppu No 2 tahun 2017 menjadi babak menentukan setelah diskursus panjang yang mengkhawatirkan terkait perkembangan organisasi pengusung negara khilafah.
Diketahui, kelihaian para aktivisnya cukup mampu membuat organisasi ini meluaskan pengaruhnya di akar rumput, sekaligus mendapat pengakuan, -meskipun secara diam-diam, dari kelompok-kelompok politik yang memperhitungkannya sebagai basis suara. Riuh soal pembubaran ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) tak ayal lagi menggetarkan republik ini.
Kegemparannya kemudian melibatkan, tak hanya alat-alat negara, akan tetapi juga elemen-elemen masyarakat keagamaan yang memiliki pandangan berbeda tentang konsep khilafah, terutama NU yang secara manhaji telah memiliki pegangan pemahaman keagamaan cukup yang established. NU dalam khazanah keilmuannya sudah tersedia jawaban akan konsep tersebut, baik secara teologis maupun secara fiqh.
Salah satu resonansi terhadap getaran peristiwa ini muncul dari pelosok desa Darmacaang, Cikoneng, Kabupaten Ciamis, di mana seorang ulama NU, yang juga menjadi Dewan Khos Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW), Syekh Muhammad Irfa’i Nahrowi, qs. tinggal bersama santrinya. Beliau yang seorang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah ini ikut prihatin akan perkembangan hubungan negara dan agama yang mestinya saling menjaga, kini sering saling meruncing akibat kedangkalan pemahaman keagamaan. Termasuk tentang konsep khilafah.
Pada kesempatan ngaji rutinan tiap malam, yang dikenal dengan istilah shuhbah atau sohbet dalam bahasa Turki, beliau mengurai benang kusut pemahaman akan istilah khilafah. Paparan-paparannya sungguh khas sufistik. Uraian-uraiannya tak pelak menyertakan ahwal-ahwal kejiwaan seseorang dalam memahami agama. Akan berbeda orang yang batiniahnya jernih dan yang keruh dalam memahami agama.
Beliau menuturkan, “Konsep yang ditakutkan itu adalah khilafah yang disampaikan oleh orang kecewa atau orang berambisi pada kekuasaan. Setiap individu memikul tugas kehalifahan kepada Allah, sekaligus manusia itu dicipta sebagai abdi Allah, sehingga semua geraknya harus diruhi oleh semangat pengabdian kepada Allah. Itulah yang namanya taqwa.”
“Oleh karena itu, tugas kekhalifahan adalah untuk menciptakan kemakmuran di muka bumi ini. Sehingga terciptalah kesejahteraan hidup dalam kedamaian. Perlu diketahui, bahwa kehidupan masyarakat dunia ini dimulai dari komponen yang terkecil yang namanya manusia, maka setiap individu harus bisa menjadi abdi dan khalifah Tuhan di dalam dirinya masing-masing. Tahap berikutnya terjadilah keluarga dan masyarakat, maka seorang suami akan menjadi abdi dan khalifah Tuhan di dalam ahlinya (keluarganya) dan istri akan menjadi abdi dan khalifah Tuhan di dalam rumahnya.”
“Kemudian tahapan berikutnya ada kelompok-kelompok manusia. Bisa dikatakan jamaah, suku, berikutnya bangsa. Ini adalah sunnatullah, artinya manusia itu tidak bisa hidup sendiri. Hidup harus berkelompok/berjamaah. Setiap kelompok atau suku harus ada imamnya. Nah, Imam inilah yang akan memikul tugas kekhalifahan. Setelah terjadi manusia ini berkelompok-kelompok, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, hal yang harus diketahui adalah misi Tuhan menciptakan manusia berkelompok-kelompok yang demikian itu adalah untuk ber-fastabiqul khoirot. Untuk apa? demi tercapainya masyarakat yang berkemajuan.”
“Untuk menjaga kedamaian, maka Allah perintahkan untuk membangun perserikatan dalam bentuk ummatun yad'ina ilal khair wa ya'muruna bil ma'ruf wa yanhauna ‘anil mungkar. Untuk lebih jelasnya, mari kita memahami firman Allah dari Qu anfusakum... (al-ayat) sampai wal takum minkum.. (al-ayat) Jangan dipahami bahwa umat manusia di muka bumi ini menjadi kelompok atau bangsa yang khalifahnya hanya satu. Kalau menghendaki yang demikian maka tidak sesuai dengan firman Tuhan dan penyataan Nabi SAW saat meminta kepada Allah agar umat ini menjadi satu.”
Beliau mewanti-wanti agar umat tetap jernih dan tenang dalam menyikapi keadaan. “Saya minta kepada saudaraku semua, jangan ributkan masalah khilafah dan khalifah dalam definisi yang belum jelas. Mari kita bersatu dalam ridla Allah, jangan ikutkan hawa nafsu. Khilafah adalah tugas suci amanat dari Allah, mari bersama-sama kita jaga jangan sampai terjatuh pada orang yang kecewa karena ambisi (fasik), karena dari sinilah timbulnya gerakan-gerakan radikalis dan ekstremis.”
Itulah sepenggal pesan beliau yang menyelai momen suhbah malam di khanqah yang dingin itu. Semakin larut tema suhbah semakin merohani dan subtil. Begitulah, tiada habisnya air laut ditimba. (Fuad AL-Athor/Abdullah Alawi)