Mengenal JQHNU, Organisasi Qori-Penghafal Al-Qur’an NU dan Perintis MTQ di Indonesia
Jumat, 14 Oktober 2022 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) merupakan salah satu badan otonom (banom) di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Banom ini merupakan organisasi yang beranggotakan para qari (pelantun), penghafal Al-Qur’an, dan pecinta Al-Qur’an dari kalangan Nahdliyin.
Organisasi ini tercatat pernah menggelar Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) antar Pondok Pesantren seluruh Indonesia dalam rangka konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung 1964.
Kegiatan tersebut kemudian diadopsi menjadi kegiatan resmi Departemen Agama RI sejak tahun 1968 sampai sekarang, serta pendirian Lembaga Tilawatil Qur’an (LPTQ) berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1977/151-1977.
Dalam sejarahnya, MTQ antar pondok pesantren yang digelar JQH ini melahirkan qari-qariah dan ulama bertaraf nasional dan internasional, seperti KH Abdul Aziz Muslim (Tegal), KH Ahmad Syahid (Bandung), KH Tb Abas Saleh Ma’mun (Banten), KH M Yusuf Dawud (Jawa Timur), H Muammar ZA (Pemalang), dan HJ Maria Ulfa (Lamongan).
Melansir NUpedia, sebelum pembentukan JQHNU, beberapa komunitas penghafal Qur’an dan pencinta seni membaca Al-Qur’an telah eksis di Indonesia.
Pada abad ke-19, muncul sejumlah perkumpulan ahli qurra wal huffadh di berbagai daerah, antara lain, Jam`iyyatul Huffazh di Kudus, Jawa Tengah; Nahdlatul Qurra’ di Jombang, Jawa Timur; Wihdatul Qurra’ di Sulawesi Selatan; Persatuan Pelajar Ilmu Qira’atul Qur’an di Banjarmasin; Madrasatul Qur’an di Palembang; dan Jam`iyyatul Qurra’ di Medan, Sumatera Utara.
Ide tentang pendirian JQH sendiri dicetuskan pada 17 Ramadhan 1370 H atau 22 Juni 1950 di kediaman KH Wahid Hasyim dalam acara buka puasa bersama sekaligus acara haul salah satu orang tuanya. Ia kemudian mengusulkan nama Jam’iyyatul Qurra wal Huffadh.
JQHNU diresmikan langsung oleh KH Abdul Wahid Hasyim pada 15 Januari 1951 H, tepat pada malam Maulid Nabi Muhammad saw, 12 Rabiul Awal 1371 H di Sawah Besar, Jakarta di kediaman H Asmuni.
Setelah peresmiannya, ia kemudian membentuk sebuah tim yang dipimpin oleh KH Abu Bakar Aceh untuk menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), membentuk komisariat di wilayah provinsi, kabupaten dan kota besar, mempersiapan kongres pertama, menghubungi para ulama qurra wal huffaz, serta melengkapi susunan pengurus besar.
Dengan keseriusan dan kerja keras, organisasi ini telah mampu membentuk 50 wilayah dan cabang di seluruh Indonesia, hanya dalam waktu satu tahun setelah pendiriannya (1951-1952).
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan lembaga ini adalah mengadakan seleksi terhadap qari yang akan membacakan Al-Qur’an di sejumlah radio di tanah air seperti RRI Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Palembang. Mereka juga dipercaya oleh Kementerian Agama cq Lajnah Pentashih Al-Qur’an untuk menjadi anggota tema Pentashih Al-Qur’an dan menyelenggarakan kursus kader qari.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi