Mengubur Politik Identitas, Memotret Praktik Keragaman Jepara sebagai Kabupaten Kerukunan
Kamis, 20 Oktober 2022 | 06:05 WIB
Dua bulan menjelang Pemilu 1999, atau tepatnya 30 April 1999, konflik antarpendukung partai politik di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, meledak. Empat orang dilaporkan tewas dan puluhan orang lainnya terluka parah. Kejadian yang berlangsung pada Jumat Kliwon itu terjadi di Desa Dongos, Kecamatan Kedung.
Bentrok fisik yang akhirnya berujung kematian itu bermula ketika dua kelompok dari masing-masing pendukung partai politik sama-sama melakukan aktivitas konvoi kampanye. Mereka berpapasan di jalan dan saling berbalas yel-yel. Perang mulut menggunakan bahasa yang mampu meletupkan emosi menjadi sajian berikutnya. Puncaknya, ratusan orang menyerbu tempat deklarasi partai kompetitor, yang dinilai sebagai wilayah basis pendukungnya.
Konflik sosial berlatar politik yang terjadi di Jepara itu tidak terjadi seketika. Rentetan peristiwa dan eskalasi politik yang bersifat idelogis menjadi rangkaian yang berkelanjutan. Sebelumnya, konflik serupa yang menelan korban jiwa juga terjadi pada Juli 1998 yang disebabkan sentimen ras dan agama.
Ahmad Zazeri, mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, melakukan riset "Kerusuhan Sosial di Desa Dongos Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara Tahun 1999", menyebutkan, salah satu penyebab timbulnya kerusuhan ini adalah adanya politisasi agama di bidang politik. Para elite politik mengunakan bahasa-bahasa agama sebagai legitimasi dukungan, dan memobilisasi massa. Peran mubaligh yang menyampaikan ceramah provokatif turut menggerakkan massa bertindak radikan terhadap kelompok lain.
Kerusuhan di Desa Dongos 1999 menjadi catatan kelabu dampak reformasi di tingkat lokal yang bergulir sejak Mei 1998. Kerusuhan ini telah menelan korban jiwa, kerugian material dan immaterial cukup besar.
Potret ‘Kabupaten Kerukunan’
Setelah sekian tahun berlalu, dinamika politik identitas di Kabupaten Jepara mulai tergerus. Fanatisme politik masyarakat Jepara belakangan juga semakin luntur. Terlebih, sejak akhir tahun lalu, 31 Desember 2021, Kabupaten Jepara mendeklarasikan diri sebagai "Kabupaten Kerukunan". Deklarasi dilakukan oleh pemerintah kabupaten setempat bersama perwakilan pemuka lintas agama yang berkomitmen untuk terus merawat keragaman serta kerukunan antarumat beragama serta mengantisipasi konflik yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Para stakeholder di Kabupaten Jepara percaya dengan terjalinnya kerukunan, maka akan timbul rasa saling memiliki yang tinggi satu sama lainnya. Sehingga, kondisi aman, damai, dan nyaman saat ini dapat terus terjaga.
Saat momentum pendeklarasian, sebagaimana dikutip dari portal resmi Pemprov Jawa Tengah, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Jepara, Mashudi berharap agar semua lapisan masyarakat bisa menjaga keadaan untuk tetap kondusif serta menjaga kerukunan dengan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
“Kepada segenap masyarakat Kabupaten Jepara, dan siapa pun yang sedang berada di Kabupaten Jepara agar memiliki rasa handarbeni, dan ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan dan penerapan deklarasi ini,” tandas Mashudi.
Potret praktik implementasi kerukunan antarumat beragama di Kabupaten Jepara selaras dengan deklarasi Kabupaten Jepara sebagai Kabupaten Kerukunan juga tampak dari aktivitas anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara.
Secara geografis, Kecamatan Welahan merupakan tanah datar dengan suhu maksimum 30 derajat celcius dan suhu minimum 23 derajat celcius serta curah hujan terbanyak 155mm/th dalam 19 hari. Desa Welahan adalah salah satu dari 15 desa yang terletak di Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah dengan topologi daerah dataran rendah dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut, dan dengan suhu udara rata-rata 22′C–24′C. Sedangkan luas wilayahnya secara administratif adalah 292.800 H. Desa ini sering dikenal dengan nama Desa Cina.
Nama Desa Cina disematkan untuk Desa Welahan karena terdapat banyak warga yang beretnis Cina di desa ini, meskipun ada pula penduduk campuran berdarah Jawa-Cina. Penduduk di desa ini mayoritas menganut agama Islam, meskipun ada juga yang beragama Budha, Khonghucu dan juga Kristen. Di desa ini terdapat komplek khusus untuk warga etnis Cina atau komplek Pecinan dan berdiri dua klenteng yang keduanya berdekatan dengan Pasar Welahan. Yang pertama, klenteng tertua di Indonesia yaitu Klenteng Hian Thian Siang Tee, atau dikenal dengan Klenteng Dewa Langit.
Berdasarkan sejarahnya, klenteng ini dibangun sekitar tahun 1600 masehi. Keyakinan bahwa klenteng ini merupakan klenteng tertua berasal dari keberadaan pusaka Tiongkok yang diyakini dibawa Tan Siang Hoe. Selain keberadaan Klenteng Dewa Langit di sebelah utara, di sebelah selatan juga Klenteng Hok Tek Bio (Dewa Bumi). Karena keunikan-keunikan Klenteng Dewa Langit dan juga Klenteng Dewa Bumi, tempat ibadah ini seringkali dikunjungi warga Tionghoa di Indonesia maupun warga pribumi dari berbagai daerah. Ramainya pengunjung klenteng ini membuat Banser Desa Welahan turut serta membantu melakukan pengamanan.
Hal itu terungkap berdasarkan penelitian yang dilakukan Mahasiswa IAIN Kudus, Yuyun Nailufar berjudul "Praktik Moderasi Beragama Banser dalam Menjaga Kerukunan di Tengah Pluralitas Masyarakat Desa Welahan Jepara", dijelaskan Banser bersama Polsek Welahan sering terlibat dalam penjagaan gereja dan klenteng.
"Banser dan masyarakat non-Islam yang sedang melakukan ibadah saling berinteraksi dengan baik. Bahkan pengurus Klenteng di Desa Welahan sangat berterima kasih
kepada anggota Banser karena bantuan dari mereka," tulis hasil penelitian tersebut.
Banser setiap tahun membantu mengamankan kegiatan Cheng Beng yang merupakan tradisi warga China untuk memperingati memperingati ulang tahun Klenteng Hian Thian Siang Tee yang biasanya penuh oleh pengunjung dari wilayah sekitar maupun dari luar kota Jepara. Meskipun terlibat dalam pengamanan, pengaturan lalu lintas dan penjagaan parkir, para anggota Banser Welahan pun paham batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan oleh syariat Islam. Mereka tidak turut serta melakukan ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh jemaat Klenteng maupun Gereja.
Tidak hanya di bidang keagamaan, kepedulian Banser dalam menjaga kerukunan dan perdamaian di Desa Welahan juga tampak dalam kegiatan sosial lain di tengah keberagaman keyakinan dan etnis masyarakat. Dalam aspek sosial, anggota Banser Welahan seringkali turut serta membantu warga yang kesusahan tanpa memandang agama, ras dan golongan yang mereka anut. Di antaranya turut serta dalam kegiatan sosial yang dikenal dengan istilah Sambatan. Pada masyarakat Desa Welahan, Sambatan merupakan bantuan sukarela yang diberikan warga saat ada perbaikan rumah atau tempat-tempat ibadah lain yang sifatnya untuk kepentingan bersama. Karena tradisi ini pula, Banser tanpa pamrih senantiasa bersemangat bergotong-royong turut membantu dalam pembangunan rumah warga non-Islam, atau rumah ibadah pemeluk agama lain.
Selain Sambatan, ada pula tradisi Gugur-Gunung yakni tradisi gotong royong masyarakat untuk memperbaiki jalan ataupun tempat-tempat ibadah yang juga dilakukan para anggota Banser. Mereka juga memiliki program menjenguk masyarakat yang terkena musibah misalnya sakit tanpa membeda-bedakan keyakinan.
Realitas-realitas hubungan yang tercipta antara Banser dan masyarakat Desa Welahan yang beragam menunjukkan praktik moderasi beragama di Desa Welahan telah terbentuk tidak hanya sekadar teori saja namun juga mengimplementasikannya dalam keseharian. Banser Welahan juga senantiasa mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai konsep moderasi beragama beserta batasan-batasannya agar tidak terjadi salah paham sehingga menganggap toleransi yang mereka lakukan melanggar syariat Islam.
Pewarta: Nidlomatum MR
Editor: Zunus Muhammad
====================
Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI