Mobil SPPG Tabrak 19 Siswa dan 1 Guru SD, P2G: Bukti Lemahnya Desain dan Operasional Program MBG
Jumat, 12 Desember 2025 | 15:00 WIB
Tangkapan layar rekaman CCTV mobil MBG tabrak kerumunan siswa SDN 01 Kalibaru, Jakarta Utara, pada Kamis (12/11/2025). (Foto: dok istimewa)
Jakarta, NU Online
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menilai insiden mobil pengangkut Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang menabrak 19 siswa dan 1 guru SDN 01 Kalibaru, Jakarta Utara, pada Kamis (12/11/2025), mencerminkan lemahnya desain program serta kesiapan operasional MBG di lapangan. Insiden yang terjadi sekitar pukul 06.30 WIB itu memicu kekhawatiran mendalam di kalangan orang tua dan tenaga pendidik.
“Tentu saja kami khawatir, para orang tua takut anaknya tertabrak, para guru juga khawatir menjadi korban,” kata Iman kepada NU Online, Jumat (12/12/2025).
Ia menjelaskan sejak awal P2G telah mengingatkan pemerintah bahwa desain operasional MBG tidak pernah dirumuskan secara jelas. Tidak ada kejelasan terkait jalur masuk kendaraan, lokasi parkir, maupun area distribusi yang semestinya dipikirkan sejak tahap perencanaan.
Menurutnya, ketidaksesuaian desain program dengan tata ruang sekolah menjadi faktor risiko yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan.
“Semestinya ini dipikirkan sejak awal. Desain MBG memang tidak cocok dengan desain sekolah kita. Seharusnya ada jalur khusus dan tempat khusus yang aman. Ini penting untuk meminimalisasi kecelakaan seperti kemarin,” ujarnya.
Iman menilai persoalan ini bukan semata insiden teknis, melainkan menunjukkan masalah sistemik dalam tata kelola MBG. Selain SOP distribusi yang dinilai tidak jelas, beban tambahan justru jatuh kepada guru.
“Banyak masalah sejak level konsep, teknis, hingga sistem. Tidak jelas parkirnya di mana, kendaraan datang dari mana saja. Guru akhirnya ikut terdampak,” ungkapnya.
Mengganggu Waktu Belajar
Ia mengungkapkan guru di berbagai daerah melaporkan bahwa pelaksanaan MBG sering mengganggu waktu belajar karena mereka harus membantu membagikan makanan, memasang tali wadah, hingga mengumpulkan perlengkapan siswa.
“Membagikan, menalikan, mengumpulkan, itu bukan tugas guru. Dalam undang-undang guru dan dosen tidak ada kewajiban merapikan tempat makan MBG. MBG itu bukan bagian dari sekolah, sehingga muncul persoalan baru,” ujarnya.
Iman membandingkan dengan negara seperti Jepang dan Korea yang memiliki dapur sekolah khusus sehingga program makanan bergizi terintegrasi dengan sistem pendidikan. Di Indonesia, MBG masuk dari luar dan tidak sesuai dengan desain sekolah sehingga rawan menimbulkan persoalan berulang.
Evaluasi Total MBG
Menanggapi berbagai masalah tersebut, Iman menekankan perlunya evaluasi total terhadap konsep MBG, termasuk sumber pembiayaannya. P2G sejak awal menolak penggunaan anggaran pendidikan untuk membiayai program tersebut karena anggaran 20 persen pendidikan seharusnya difokuskan pada peningkatan mutu belajar.
“MBG adalah mandat kesejahteraan sosial dan kesehatan, bukan pendidikan. Pendidikan justru harus dibantu oleh dua sektor itu. Karena itu tidak tepat jika anggaran pendidikan digunakan,” tegasnya.
Ia menambahkan pemerintah tidak perlu membuat badan baru seperti badan gizi nasional. Kolaborasi antara Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan dinilai sudah memadai, dengan memanfaatkan jejaring posyandu yang telah tersedia.
“Sebenarnya cukup koordinasi satuan tugas lintas kementerian. Sejak awal secara konseptual dan struktural program ini bermasalah. Harapan saya ke depan ada koreksi menyeluruh terhadap MBG dengan segala persoalan yang muncul,” pungkasnya.