Nasional

Muktamar NU Bahas RUU P-KS dan Definisi Perzinaan di KUHP

Rabu, 24 November 2021 | 06:45 WIB

Muktamar NU Bahas RUU P-KS dan Definisi Perzinaan di KUHP

Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah, KH Mujib Qulyubi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah KH Mujib Qulyubi menyampaikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dan definisi perzinaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan menjadi sorotan di Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Provinsi Lampung mendatang.


“Kita akan soroti RUU P-KS. Kita juga menyoroti perzinaan di perguruan tinggi yang sekarang lagi heboh. Karena itu melanggar syariat Islam. Tetapi bukan hanya itu, kita juga akan soroti misalnya definisi perzinaan dalam KUHP,” ujar Kiai Mujib kepada NU Online, Selasa (23/11/2021). 


Di KUHP, kata Kiai Mujib, saat ini yang disebut zina adalah orang yang sudah berkeluarga melakukan hubungan intim dengan orang lain. Sementara orang yang belum berkeluarga dan berhubungan atas dasar suka sama suka belum disebut zina.


Ia menekankan bahwa substansi atau ruh dari setiap UU di Indonesia harus bersumber dari hukum Islam. Meskipun tidak memunculkan kata-kata syar’i di dalamnya tetapi tugas NU justru memberikan landasan agar ruh dan filosofi dari semua UU tidak boleh bertentangan dengan syariat. 


“Jadi tugas kita membangun landasannya, membangun ruhnya harus Islami dan syar’i. Kita tidak koar-koar dalam tataran implementasi harus sesuai dengan syariat, tetapi yang kita koar-koar itu adalah justru landasannya, ruhnya, jiwanya itu,” tegas Kiai Mujib.


Untuk diketahui, berdasarkan pasal 284 ayat 1 KUHP, seseorang tidak bisa dikenakan tindak pidana perzinaan bila dilakukan oleh seorang laki-laki lajang dengan perempuan yang juga lajang.

 

KUHP hanya mendefinisikan zina sebagai perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. 


Berikut bunyi Pasal 284 ayat 1 KUHP

Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan:

1) a. Laki-laki yang beristri berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu bersuami; b. Perempuan yang bersuami berbuat zina;


2) a. Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu bersuami; b. Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu beristri dan Pasal 27 Kitab UU Hukum Perdata berlaku pada kawannya itu.


Perjalanan RUU P-KS

Dilansir CNN Indonesia, RUU P-KS awalnya menjadi sebuah rancangan aturan yang diinisiasi Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sejak 2012, menyusul kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. 


Selama empat tahun, Komnas Perempuan membujuk DPR agar membuat payung hukum soal kekerasan seksual. Lalu pada Mei 2016, Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik payung hukum tersebut.


Kemudian, DPR dan pemerintah sepakat memasukkan RUU P-KS masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Presiden Joko Widodo pun menyatakan dukungannya terhadap RUU PK-S pada Juni 2016. 


Selanjutnya, RUU P-KS disepakati sebagai inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna pada 6 April 2017. Mulanya, RUU ini akan dibahas oleh panitia khusus (pansus) di Komisi III DPR RI yang membidangi hukum dan keamanan. Namun, RUU ini diputuskan untuk ditangani Komisi VIII yang membidangi agama dan sosial. 


Setelah itu, DPR mengirim draf RUU PK-S ke pemerintah. Awalnya, RUU ini berisi 152 pasal. Namun setelah dilayangkan ke pemerintah, dipangkas menjadi 50 pasal. Pembahasan pun berlanjut hingga 2018.

 

Saat itu, Komisi VIII mengundang sejumlah elemen masyarakat untuk menjaring pendapat. Namun pada akhir 2018, DPR memutuskan RUU itu ditunda pembahasannya hingga selesai Pemilu 2019.


Setelah pemilu, RUU PK-S menjadi salah satu draf yang dikebut DPR periode 2014-2019. Namun dalam perjalanannya, RUU ini menuai pro-kontra.

 

Di parlemen, pembicaraan RUU PK-S bukan hanya mempermasalahkan kekerasan seksual yang sudah masuk kategori darurat. DPR justru mengaitkannya dengan isu seks dan hubungan sesama jenis. Walhasil, hingga kini RUU PK-S tak kunjung disahkan.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad