Jakarta, NU Online
Orang NU yang paling pandai membumikan Islam, sesuai dengan pedoman menjaga tradisi yang telah ada yang baik, serta mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik.
<>
Demikian pernyataan Yudi Latif, beberapa waktu lalu pada diskusi terbatas yang diselenggarakan Lembaga Bahsul Matsail Nahdalatul Ulama (LBM NU) di gedung PBNU dengan tema Pancasila dalam Perspektif Islam.
Yudi mencontohkan Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari yang belajar di Haramain, sekitar tahun 1899 M. waktu itu merupakan puncak pengaruh gerakan Salafiyah, “Seperti Muhammad Abduh dan lain-lain itu begitu kuat dan kita juga tahu pengaruh Wahabisme,” ujarnya.
Jadi, sambung Yudi, akhir abad ke-19 itu pengaruh gerakan reformis dengan berbagai variannya, sangat kuat mempengaruhi dunia Islam.
“Tetapi, begitu pulang ke Tanah Air, meskipun pengaruh gerakan modernis kuat, Hadrotuys Syekh Hasyim Asy’ari tidak langsung mengcopy faste seluruh ajaran-ajaran reformis salafiyah, wahabiyah untuk dikembangkan, karena akan membabad tradisi Islam di Indonesia.”
Hadrotus Syekh malah melakukan proses-proses pembumian yang menurut Gus Dur di kemudian hari disebut sebagai proses pribumisasi Islam.
Lebih jauh peneliti di Direktur Reform Institute ini menambahkan, kemampuan melakukan pribumiasasi ini bukan hanya terlihat dari prilaku Hadrotus Syekh, tapi juga pada tokoh-tokoh lain, misalnya Bung Karno dan Tan Malaka.
Dikatakannya, Bung Karno membaca karya-karya Karl Max, tetapi ia tidak menelan mentah-mentah ajarannya, misalnya tentang proletar. Proletar di Barat berbeda dengan Indonesia sehingga muncullah ajaran Marhaenisme.
“Soekarno bilang, seumur-umur saya tidak akan menjadi komunis. Sosialis iya, tetapi menjadi komunis yang menolak tuhan itu tidak terlintas dalam diri seorang Bung Karno.”
Begitu juga Tan Malaka. Ia anggota komunis internasional, tetapi pada tahun 1922, dia berkelahi dengan komintern karena mereka memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Pan-Islamisme.
“Ini sesat, Tan Malaka bilang. Justru komunisme harus bersekutu dengan kekuatan Islam karena Islam memiliki kekuatan revolusioner. Kalau komunis berhadapan dengan Islam, sampai kapan pun negeri kami tidak akan merdeka.”
Redaktur : Hamzah Sahal
Penulis : Abdullah Alawi