Nyai Sinta Nuriyah Harap Pencabutan Tap MPR tentang Gus Dur Bukan Basa-basi Politik
Senin, 30 September 2024 | 07:00 WIB
Nyai Sinta Nuriyah Wahid dan keluarga dalam acara Silaturahim dengan pimpinan MPR RI, Ahad (29/9/2024). (Foto: instagram/@bambang.soesatyo)
Jakarta, NU Online
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPR Nomor II Tahun 2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Rabu (25/9/2024). Keputusan ini mendapat respon dari berbagai pihak salah satunya keluarga Gus Dur.
Istri Gus Dur, Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid berharap pencabutan Tap MPR bukan sekadar basa-basi politik semata. Rekonsiliasi harus berdasarkan prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan.
“Kami berharap rekonsiliasi ini dapat berjalan sebagaimana terjadi di Afrika Selatan semasa Nelson Mandela maupun yang terjadi di Timor Leste pasca-kemerdekaan. Maka kami keluarga Gus Dur menyambut proses rekonsiliasi ini dengan catatan dilakukan tidak dengan setengah hati,” ujar Nyai Sinta dalam keterangan yang diterima NU Online, Ahad (29/9/2024).
Nyai Sinta menegaskan pentingnya pelurusan sejarah bahwa Gus Dur tidak pernah melakukan tuduhan yang dialamatkan padanya. Menurutnya, banyak ahli hukum tata negara menyaksikan bahwa Gus Dur telah mengalami kudeta parlementer.
Sebuah kerancuan proses politik, mengingat Indonesia tidak menganut sistem demokrasi parlementer, namun menganut sistem presidensial. Berbagai tuduhan terhadap Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak tidak pernah terbukti.
“Bagi kami yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi. Semua orang yang mengenal Gus Dur, dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur, bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur,” kata Nyai Sinta.
Ia menambahkan, Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda. Gus Dur dijatuhkan karena dianggap tidak patuh pada MPR ketika hendak mengangkat Kapolri, yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif, bukan legislatif. Anomali demokrasi seperti ini perlu dikoreksi.
“Kami pihak keluarga Gus Dur tidak pernah menyimpan dendam terhadap siapa pun yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan. Namun, keluarga Gus Dur berpendapat, penting bagi negara untuk meluruskan sejarah, agar seluruh bangsa bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” jelasnya.
Nyai Sinta menyebut kudeta terhadap Gus Dur merupakan peristiwa politik pertama ketika presiden yang terpilih secara demokratis dijatuhkan di tengah jalan. Pencabutan Tap MPR tersebut, menurutnya, dapat menjadi pengingat agar peristiwa serupa tidak terulang dan menjadi cermin bagi pendewasaan demokrasi.
“Kami berharap bisa menjadi cermin paling jernih bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia agar tidak dipermainkan oleh tangan-tangan kotor,” pintanya.
Ia mendorong agar momentum pencabutan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 dimanfaatkan untuk mendesakkan berlakunya demokrasi yang esensial di negara ini, bukan demokrasi prosedural yang rentan direkayasa.
“Tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat dengan bebas melakukan rekayasa politik untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah ataupun mengakali demokrasi untuk kepentingan-kepentingan diri dan kelompoknya semata. Apa yang terjadi pada Gus Dur, tidak boleh terulang lagi di negeri ini,” tegasnya.
Rekomendasi usai Tap MPR tentang Gus Dur Dicabut
Nyai Sinta mengusulkan dua langkah konkret setelah pencabutan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 ada upaya yang harus dilakukan.
Pertama, nama Gus Dur segera direhabilitasi dengan mengembalikan nama baik, martabat, dan hak-haknya sebagai mantan presiden.
Kedua, segala bentuk publikasi, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang menyangkutpautkan penurunan Gus Dur dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 mesti ditarik untuk direvisi.