Nasional

P2G: Program Makan Bergizi Gratis Bukan Tanggung Jawab Guru

Rabu, 1 Oktober 2025 | 18:30 WIB

P2G: Program Makan Bergizi Gratis Bukan Tanggung Jawab Guru

Ilustrasi wadah MBG. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menolak kebijakan yang menjadikan guru sebagai penanggung jawab program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah.


Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri menilai langkah Badan Gizi Nasional (BGN), melalui Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pemberian Insentif Bagi Guru Penanggung Jawab Program Makan Bergizi Gratis di Sekolah Penerima Manfaat, sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap maraknya kasus keracunan MBG.


“Menurut kami dengan terbitnya SE ini patut diduga BGN mencoba lepas tangan dari tanggung jawab terhadap fenomena keracunan MBG di sekolah,” ujar Iman melalui keterangan yang diterima NU Online, pada Rabu (1/10/2025).


Iman menyebutkan tujuh catatan P2G terhadap kebijakan MBG. Pertama, sejak Mei 2025 P2G telah meminta agar program ini dimoratorium untuk dievaluasi, mengingat kasus keracunan terus terjadi. Evaluasi diperlukan terkait regulasi, keamanan dan kebersihan makanan, kelayakan vendor, serta risiko teknis lainnya.


Kedua, pelibatan guru dalam distribusi MBG sangat mengganggu proses belajar mengajar. Guru diminta menalikan ulang wadah, mencicipi makanan, mengawasi siswa saat makan, hingga membereskan kembali wadah makanan.


“Guru tidak memiliki kemampuan mendeteksi makanan beracun. Itu bukan tugas guru. Kalau deteksi itu dengan cara mencicipi, itu mempertaruhkan nyawanya, justru hal itu membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja guru,” tegas Iman.


Ketiga, kebijakan ini menambah beban kerja guru yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.


“Sebelum ada MBG, beban kerja guru justru sudah banyak. Dengan memberikan tugas tambahan yaitu sebagai penanggung jawab MBG, tentu ini akan keluar dari rel utama kewajiban guru,” katanya.


Keempat, Iman menyoroti insentif Rp100 ribu per hari bagi guru penanggung jawab MBG. Menurutnya, angka itu tidak sebanding dengan tanggung jawab besar jika terjadi keracunan siswa.


Bahkan, insentif ini dinilai paradoks dengan kondisi 518 guru honorer yang mengadu ke P2G, di mana 97 persen belum menerima bantuan insentif Rp300 ribu per bulan sebagaimana dijanjikan Presiden Prabowo Subianto.


“Jika BGN bisa memberikan insentif Rp100 ribu per hari untuk guru penanggung jawab MBG, bukankah mudah saja bagi pemerintah jika menggaji guru honorer sebulan 3 juta rupiah? Kenapa malah sulit menambah gizi gurunya?,” ungkapnya.


Kelima, sasaran program MBG dinilai kurang tepat. Menurut Iman, program seharusnya hanya diberikan kepada siswa di daerah 3T atau yang rawan kekurangan gizi, bukan ke semua sekolah, termasuk sekolah swasta dengan kondisi ekonomi baik.


“MBG harus tepat sasaran, selektif ke sekolah yang latar belakang orang tuanya ekonomi lemah,” katanya.


Keenam, MBG juga berdampak pada omzet kantin sekolah. Sejak awal program MBG, P2G sudah memberikan masukan agar program ini seharusnya memperkuat ekosistem pangan lokal dan menggerakkan roda ekonomi sekitar.


"Namun sepertinya itu tidak dilaksanakan dengan baik. Walhasil, kantin sekolah jadi mati suri,” ucap Iman.


Ketujuh, P2G menolak penggunaan anggaran pendidikan untuk program MBG.


“Dengan diambilnya anggaran pendidikan untuk MBG, sebenarnya anggaran pendidikan tahun 2025 justru menurun, hanya Rp534 triliun, lebih rendah dari Anggaran Pendidikan 2023, Rp612 triliun,” ujarnya.


“Sejatinya, 20 persen APBN untuk pendidikan tidak tercapai gara-gara MBG, dan ini berpotensi inkonstitusional,” lanjutnya.


P2G mendesak pemerintah segera melakukan moratorium dan evaluasi total program MBG, menghentikan sementara program, memperbaiki tata kelola agar tepat sasaran.


“Kemudian juga mencabut peraturan yang menjadikan MBG sebagai tugas guru, kewajiban dan tanggung jawab guru,” pungkas Iman.