Pembolehan Imlek, Upaya Gus Dur Ubah Paradigma Rezim Orde Baru
Sabtu, 13 Februari 2021 | 01:15 WIB
Jakarta, NU Online
Perayaan tahun baru Imlek di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosok Gus Dur. Gus Dur menghapus pemberlakuan Inpres Nomor 14/1967 tentang pelarangan aktivitas agama dan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia. Sebagai gantinya, Presiden Keempat Republik Indonesia itu lalu menerbitkan Inpres Nomor 6/2000 pada 17 Januari 2000 yang mengizinkan dan membolehkan perayaan Imlek.
Virdika Rizky Utama, penulis buku Menjerat Gus Dur, menyampaikan bahwa penghapusan pelarangan Imlek adalah upaya Presiden keempat RI itu dalam mengubah paradigma yang diproduksi rezim Orde Baru. Sebab, lanjutnya, dasar pemberlakuaan Inpres tahun 1967 di zaman Soeharto adalah kecurigaan terhadap etnis Tionghoa.
Hal itu, jelas Virdi, tentu sebagai sebuah penghancuran identitas yang sangat terstruktur. Orang Tionghoa mau tidak mau, suka tidak suka, harus melakukan itu demi hidup yang terjamin.
“Bila ingin menjadi orang Indonesia atau pribumi, maka salah satu syaratnya harus meninggalkan segala macam ritus keagamaan dan budaya leluhur Tionghoa, termasuk mengganti nama menjadi nama "orang Indonesia,” ujar peneliti di PARA Syndicate ini pada Jumat (12/2).
Menurutnya, hal tersebut menyalahi konstitusi yang dibuat oleh para pendiri negara Indonesia. Konsitutusi Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Jadi, terangnya, ketika Gus Dur menerbitkan Inpres baru pada 2000, mesti diperhatikan bahwa Gus Dur sangat menjunjung tinggi dan mengimplementasikan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Negara wajib melindungi dan menjamin identitas suku-bangsa yang ada di dalamnya. Gus Dur melakukan itu," ucap Virdika.
Tak hanya itu, dalam konteks kebangsaan Indonesia, tidak ada istilah pribumi dan nonpribumi. Semuanya punya hak dan kesempatan yang sama untuk hidup dan mencari serta mendapat penghidupan. Salah satunya menjamin beragama dan menjalankan ritusnya, seperti agama Konghucu dan perayaan Imlek.
Warisan dan jasa Gus Dur ini, menurutnya, menjadi preseden baik yang sulit disamakan oleh para pemimpin negara setelahnya—terutama politikus. Sebab, Gus Dur menempatkan kemanusiaan di atas politik.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad