Pemilu 2024, Para Politisi Didorong Jadi Negarawan dan Utamakan Kepentingan Rakyat
Rabu, 17 Mei 2023 | 09:00 WIB
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) mengimbau para politisi yang akan berkompetisi di pemilihan umum (Pemilu) 2024 agar mampu mengutamakan kepentingan umat.
"Kepentingan umat atau rakyat harus dikedepankan. Kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kalau mau bicara politik yang lebih sehat, harus disingkirkan dulu. Kepentingan umat jauh lebih pokok," ucap Gus Ghofur kepada NU Online, Rabu (17/5/2023).
Kemudian, para politisi diharapkan bisa mengantisipasi terjadinya perpecahan dan pembelahan di tengah kehidupan umat. Kata Gus Ghofur, mereka harus berpikir bahwa polarisasi berdampak negatif bagi kedua pihak.
"Polarisasi yang tajam itu sama-sama tidak positifnya bagi keduanya. Membikin umat terbelah itu tidak positif bagi dua-duanya," tambah Gus Ghofur.
Putra almarhum KH Maimoen Zubair ini meminta para politisi untuk mengambil pelajaran dari Pilkada DKI Jakarta, pada 2017 silam. Mereka perlu berpikir soal akibat yang ditimbulkan dari polarisasi yang terjadi.
Menurut Gus Ghofur, dampak dari polarisasi sangat sulit untuk diperbaiki atau disembuhkan. Bahkan sampai lima tahun berlalu, pembelahan itu masih sangat terasa.
"Jadi, 5 tahun itu tidak bisa memperbaiki dan itu salah satu sumbangsih terburuk yang dilakukan oleh politik, seperti yang kita alami," ucapnya.
Ia berharap semua pihak bisa mengerem atau berhati-hati dalam berucap dan bertindak menjelang Pemilu 2024. Para kontestan harus berpikir bahwa kubu lawan tidak seburuk yang dipikir.
"Ibarat dalam fiqih, saya ini berijtihad yang mungkin salah dan lawan saya itu adalah juga ijtihad yang mungkin benar," katanya.
Gus Ghofur menyayangkan apabila ada pihak yang sengaja membuat narasi kepada kubu lawan sebagai pihak yang tidak nasionalis atau anti-agama. Sebab yang dituduhkan itu tidak benar sepenuhnya.
"Misalnya kelompok yang satu bilang, kelompok lawan itu tidak nasionalis. Tapi sebenarnya tidak gitu juga, sebenarnya ada kadar nasionalisnya juga. Yang satu bilang, yang satu itu anti-agama, ya nggak juga. Mereka orang-orang yang beragama juga, yang baik juga," katanya.
Begitu pula soal tuduhan salah satu pihak ke kubu lawan sebagai kelompok yang korupsi. Padahal, kata Gus Ghofur, setiap pihak harus menyadari bahwa kelompoknya tidak seratus persen bersih dari korupsi.
"Jadi, misalnya yang satu bilang kelompok itu korupsi, padahal kelompok saya juga sebenarnya tidak bersih-bersih amat, di situ juga bukan berarti semua orang koruptor," tambahnya.
Gus Ghofur mengharapkan seluruh peserta pemilu dapat berpikir dan berbicara mengenai pentingnya mencegah polarisasi kepada para konstituennya.
"Kalau saya kan bicara sama santri-santri. Saya bilang, kalau kamu di mana pun punya tugas untuk mengerem radikal. Kemudian kalau kamu tidak di mana-mana sebaiknya kamu menjaga masyarakat," katanya.
Ia menduga, Pemilu 2024 akan memunculkan pertengkaran agak tajam antar-kubu. Karena itu, ia berharap agar diperbanyak kemunculan kelompok-kelompok yang bisa menyampaikan persatuan di dalam politik kepada masyarakat.
Jadilah negarawan
Sementara itu, Ketua PBNU Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid meminta para politisi agar menjadi negarawan. Tak ada hal lain kecuali berpikir soal kepentingan bangsa dan negara.
"Kan kalau legislatif berarti dia kan memutuskan kebijakan publik, bekerja bersama pemerintah, akan mengawasi pemerintah. Maka penting bagi dia juga sudah menunjukkan itu. Tidak dengan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan posisi atau kekuasaan," ucap Alissa.
Menurut Alissa, kalau semua praktisi politik memiliki komitmen yang sama untuk mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dan tidak menggunakan politik sektarian, maka diharapkan kompetisi bisa berlangsung baik dan adil.
Sebagai contoh, para calon anggota legislatif misalnya perlu pergi ke daerah pemilihan masing-masing untuk menemui konstituennya. Mereka kemudian memberikan akses fasilitasi.
"Misalnya, desa ini butuh lapangan voli, kemudian mereka berjanji untuk melaksanakan janji atau menjanjikan jalanannya diaspal," kata Alissa.
Kalau ternyata pihak pemerintah desa tak memiliki biaya cukup untuk mengaspal jalan atau membangun jembatan, maka para calon legislator itu harus mencarikan jalan ke pemerintah daerah supaya jembatan bisa dibangun.
"Itu nggak apa-apa, tapi jangan pakai politik SARA, jangan pakai politik identitas, mendiskreditkan calon lain dengan menggunakan politik identitas atau politik SARA. Politik identitas tuh bisa suku, agama, golongan," katanya.
"Itu janganlah, karena itu tuh (politik identitas) nanti susah untuk dihilangkan. Susah untuk disembuhkan. Politik identitas itu politik yang ujungnya pada sentimen kebencian," imbuh Alissa.
Menurut Rektor UIN Yogyakarta Prof Al Makin, polarisasi akan kembali terjadi pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini juga sudah diprediksi oleh para pengamat dari berbagai universitas, lembaga survei, dan lembaga riset di Indonesia.
Ia mengatakan, Kementerian Agama terutama pada momen AICIS di Surabaya kemarin sudah membuat pernyataan bersama menolak politik identitas. Hal tersebut merupakan langkah luar biasa yang harus diapresiasi dan diteruskan ke masyarakat.
“Saya kira, Ketua Umum PBNU Gus Yahya juga sering membicarakan itu. Bahkan, sebelum beliau jadi Ketum PBNU juga sudah sering menyinggung betapa politik identitas itu sangat mudah dipakai dalam propaganda dan dalam mempromosikan kandidasi atau pencalonan dalam politik. Ini harus kita amati dan hindari sebanyak mungkin,” ujarnya.
Prof Makin mengingatkan bahwa pada setiap Pemilu itu pasti akan ada yang kalah dan menang atau ada yang terpilih dan ada yang tidak. Jika keterpilihan ini dikaitkan dengan identitas maka menjadi ramai dan tensi akan naik.
Namun, Pemilu akan terasa berbobot apabila dikaitkan dengan pemaparan atau adu program dari para kontestan yang akan berkompetisi. “Jika kita membiasakan berpikir rasional, Indonesia akan aman. Semoga Pemilu 2024 kita akan menikmati adu program,” terangnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Kontributor: Musthofa Asrori
Editor: Fathoni Ahmad