Suasana bedah buku Mengenali dan Menghadapi Kelompok NII di Hotel 101 Urban Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2022). (Foto: Dok. BLAJ)
Jakarta, NU Online
Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) Balitbang Diklat Kemenag Rudy Harisyah Alam mengungkap cara-cara yang dilakukan Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dalam merekrut calon anggota. Ia juga mengungkapkan berbagai kesaksian orang yang pernah direkrut NII yang diabadikan di dalam buku Mengenali dan Menghadapi Kelompok NII (2021).
Rudy mengatakan, sumber hukum tertinggi kelompok NII berdasarkan buku yang menjadi rujukan karya RM Kartosuwiryo ‘Pedoman Dharma Bakti’ adalah Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Salah satu cara kelompok NII merekrut anggota adalah dengan membenturkan dua pilihan yang ditanyakan kepada target.
“Cara paling umum adalah ketika orang atau calon orang yang hendak direkrut itu biasanya ditanyakan awal sekali itu soal keimanan atau keislamannya, misalnya apakah anda sudah Islam? Saya jawab misalnya, saya sudah Islam,” terang Rudy dalam Diskusi Buku Mengenali dan Menghadapi Kelompok NII di Hotel 101 Urban Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2022).
“Apakah Anda sudah bersyahadat? Karena menurutnya kalau belum bersyahadat maka belum berislam. Kalau kita bilang sudah syahadat, dia akan bertanya, di hadapan imam yang mana bersyahadat? Itu yang akan terus dilakukan,” lanjut Rudy.
Sebagian orang, jika memiliki pemahaman keagamaan yang kurang luas maka akan luluh dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Bahkan, bakal timbul perasaan khawatir kalau dirinya barangkali belum berislam secara benar.
Jika sudah timbul perasaan seperti itu, kelompok NII akan melanjutkan langkah dengan meminta calon anggota untuk bersyahadat kembali dan berbaiat kepada imam yang memperjuangkan negara Islam. Sebab menurut NII, kata Rudy, keimanan tanpa aksi untuk mewujudkan hukum-hukum Islam bukanlah keimanan yang sejati.
Taktik lain, berdasarkan pengakuan orang-orang yang pernah direkrut NII adalah dengan cara membandingkan dua hal yang berbeda melalui sebuah pertanyaan. Misalnya, mana yang lebih baik antara Al-Qur’an dan Pancasila. Biasanya, calon anggota NII akan menjawab bahwa Al-Qur’an lebih baik.
Setelah itu, NII akan melakukan pencucian otak dengan menyatakan bahwa Indonesia justru berhukum kepada Pancasila. Dengan kata lain, NII beranggapan negara ini tidak bersandarkan pada hukum yang telah ditetapkan Allah. Jika demikian, orang-orang yang tidak bersandar pada hukum Allah akan disebut kafir dan negara yang berhukum selain Islam disebut thagut.
“Cara lain, biasanya ditanya, lebih baik Rasulullah atau presiden saat ini? pasti jawabnya Rasulullah. Sekarang kenapa kita berkiblat pada pemimpin yang tidak lebih baik. Harusnya kita kan berkiblat kepada pemimpin yang ideal, yaitu Rasulullah,” ungkap Rudy.
Dilema-dilema seperti itulah yang kerap digunakan NII ketika hendak merekrut orang untuk menggoyahkan pandangan, yakni dengan mempertanyakan kembali dan membenturkan sesuatu yang tidak setara.
Tak Kunjung Selesai
Rudy pun merasa heran karena permasalahan tentang NII tidak kunjung selesai. Isu mengenai NII selalu ramai hanya pada momen-momen tertentu, muncul lalu tak lama hilang lagi. Inilah yang membuat Rudy berkesimpulan bahwa NII belum pernah diselesaikan.
Ia bahkan sempat mempertanyakan kehadiran negara yang seperti tidak mampu dalam menghadapi NII. Namun, saat Rudy melakukan diskusi dengan berbagai pihak, lalu muncul alasan bahwa persoalan NII tak kunjung selesai karena belum ada rujukan hukum yang bisa digunakan untuk menghadapi.
“Karena kalau masih dalam pikiran kan sebenarnya negara tidak boleh membatasi, orang mengaspirasikan negara Islam. Negara tidak boleh mengerangkeng kalau itu baru sebatas pikiran,” terang Rudy yang kini menjadi Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini.
Menurut dia, NII berbeda dengan kelompok-kelompok kekerasan lain seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang sudah mewujudkan aspirasi politik lewat jalan kekerasan, sehingga lebih mudah untuk dihadapi negara.
Rudy menekankan, jika pemerintah Indonesia belum bisa melakukan pendekatan hukum maka minimal harus terus-menerus memberikan penyadaran dan memperkuat kesadaran warga negara. Tujuannya dengan menerbitkan publikasi informasi yang berimbang untuk bisa membentengi dan memperkuat daya tahan masyarakat dari pengaruh paham-paham seperti NII.
“Karena yang seperti ini bukan hanya NII, tapi juga oleh kelompok-kelompok lain. NII ini kompleks, karena sudah lama berakar, pasti banyak faksi kelompok yang belum tentu satu sama lain sejalan. Ketika menghadapi kelompok-kelompok ini, tidak bisa juga pendekatannya seragam. Kompleksitas ini perlu dipertimbangkan ketika negara ingin melakukan intervensi,” tegasnya.
Metamorfosis NII
Sementara itu, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) Sapto Priyanto mengungkapkan bahwa gerakan yang berawal dari organisasi Darul Islam (DI) besutan RM Kartosuwiryo ini banyak melakukan metamorfosis menjadi berbagai organisasi teror di Indonesia.
Ia menyebutkan, di internal NII sendiri terdapat faksi-faksi. Kemudian bermetamorfosis menjadi Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), dan Jamaah Ansharul Khilafah (JAK).
“NII selama ini diuntungkan dengan munculnya JI, MMI, JAD, MIT (Mujahidin Indonesia Timur), dan lainnya, sehingga NII tetap tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Masyarakat perlu waspada dengan penyebaran paham NII dan pemerintah perlu membuat aturan tentang pelarangan NII,” kata Sapto.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori