Pengamat Harap Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran Bukan Sekadar Konsesi Politik
Sabtu, 26 Oktober 2024 | 15:00 WIB
Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming memimpin rapat kabinet pertama, Rabu (23/10/2024) di Istana Negara Jakarta. (Foto: setkab.go.id)
Jakarta, NU Online
Sejumlah tokoh termasuk figur artis dan seniman mengisi Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto dan Gibra Rakabuming Raka yang dinilai terlalu gemuk. Pengamat Politik Airlangga Pribadi berharap, jabatan-jabatan yang diberikan Prabowo kepada tokoh-tokoh di kabinet bukan sekadar konsesi politik.
Karena menurut Airlangga, tidak ada persoalan dengan keterlibatan figur-figur tertentu dalam kabinet, seperti seniman. Mengingat figur-figur seniman juga banyak yang memiliki integritas sikap etis, intelektualitas, literasi yang mumpuni, dan kompeten serta wawasan yang luas dalam menangani persoalan-persoalan sosial yang menjadi fokus dari pemerintahan.
Yang perlu diperhatikan, kata dia, ialah sejauh mana standar-standar integritas etis, literasi, dan intelektualitas serta kompetensi dari tokoh-tokoh di pemerintahan untuk menjabat jabatan publik.
"Terkait dengan rekrutmen terhadap beberapa figur di jabatan pemerintahan terpulang pada standar-standar yang sudah saya sebutkan di atas. Jangan sampai posisi-posisi tersebut didapatkan semata-mata dari proses yang terkait hanya dengan konsesi-konsesi politik untuk mengakomodasi mereka dalam pemerintahan," jelas Airlangga dihubungi NU Online, Jumat (25/10/2024).
Senada, Pengamat Politik The Strategic Research and Consulting (TSRC), Achmad Choirul Furqon menilai bahwa apa yang dilakukan pemerintahan sekarang bisa dikatakan menggunakan politik programatik.
"Politik programatik itu imbal balik jasa kepada yang sudah membantu ketika pencalonan. Mereka semua berjasa kepada Presiden Prabowo ketika pencalonan," ujar Furqon saat diwawancarai NU Online di Kafe Pilar Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024).
Furqon berkata, artis seperti Raffi Ahmad, tokoh agama semacam Gus Miftah, dan lainnya, itu semua bisa dianalisa menggunakan teori klientelisme dalam Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia (2019) karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot.
"Sangat jelas jika teori yang digunakan adalah teori klientilisme Democracy for Sale karya Aspinall dan Ward Berenschot. Dipasangnya orang pasti punya hitungan untuk memajukan. Tapi prinsipnya itu masih bagi-bagi jatah jabatan saja," terang dia.
Aspinall dan Edward Barenschot salah satunya menyoroti klientelistik. Menurut Allen Hicken, profesor di Departemen Ilmu Politik, University of Michigan dalam The Conversation menjelaskan bahwa klientelisme merupakan hubungan pertukaran timbal balik dan hierarkis yang dibentuk melalui pertukaran sumber daya material atau non-material antara kandidat dan pemilih.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot memeriksa jejaring informal dan strategi-strategi politik yang membentuk akses pada kekuasaan dan privilege dalam lingkungan politik kontemporer Indonesia.
Menurut Aspinall dan Berenchot, para politisi memenangi pemilihan dengan mendistribusikan proyek-proyek berskala kecil, memberikan uang tunai atau barang kepada para pemilih. Mereka mendapatkan dana untuk membiayai kampanye mereka dengan memperjualbelikan kontrak, perizinan, dan manfaat-manfaat lainnya dengan para pengusaha.
Aspinall dan Berenchot juga menyoroti pertarungan politisi yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka dan dengan birokrat untuk merebut kendali atas berbagai sumber daya negara untuk membiayai kegiatan politik mereka.