Pengamat Sebut Penerbitan Perppu UU Cipta Kerja Cacat Formil
Senin, 2 Januari 2023 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pengamat Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhtar Said menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memenuhi syarat formil yang dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang (UU). Artinya, ketika tidak ada hal yang genting kemudian mengeluarkan Perppu, maka akan terjadi kekacauan yang luar biasa,” beber Muhtar, kepada NU Online, Senin (2/1/2023).
Kedua, lanjut dia, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.
“Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” jelasnya.
Ia menerangkan bahwa sejatinya Perppu dibuat dalam keadaan genting dan mendesak, sementara dalam kasus ini Perppu UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat kegentingan.
“Perppu itu filosofinya dibuat dengan keadaan yang luar biasa tanpa adanya proses seperti biasanya,” terang dia.
Pada Jumat (30/12/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. Dengan penerbitan perppu ini, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal UU Cipta Kerja pun gugur.
Kondisi global yang tidak menentu disebut-sebut menjadi pertimbangan menerbitkan perppu itu.
"Jadi memang kenapa perppu, kita tahu kita ini kelihatannya normal tapi diintip oleh ancaman-ancaman ketidakpastian global, saya sudah berkali-kali menyampaikan beberapa negara yang menjadi pasiennya IMF, 14. Yang 28 ngantre di depan pintunya IMF untuk juga menjadi pasien," kata Jokowi di Istana Negara.
Menurut Muhtar, jika kepentingan yang memaksa karena kondisi ekonomi global yang harus cepat direspons pemerintah, maka perlu kajian lebih lanjut memutuskan penerbitan ini.
“Kalau Presiden mengatakan bahwa akan terjadi resesi ekonomi di 2023 maka itu harus ada kajian secara mendalam dan dibuktikan oleh kajian-kajian yang dibuat oleh pemerintah,” jelasnya.
“Jadi, tidak bisa semena-mena, begitu,” imbuh Muhtar.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad