UU Cipta Kerja Pasca-Putusan MK, Pakar Hukum: Tidak Boleh Ada Aturan Baru
Kamis, 2 Desember 2021 | 16:15 WIB
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil atau inkonstitusional bersyarat. Pembuat UU diberi kesempatan selama dua tahun untuk melakukan perbaikan. Jika selama tenggat waktu itu tidak mengalami perbaikan maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional permanen.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Muhtar Said menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh membuat aturan baru atau kebijakan strategis menggunakan norma UU Cipta Kerja pasca putusan MK.
“Tidak boleh membuat kebijakan strategis. Kalau dasarnya peraturan sebelum putusan masih bisa dilakukan. Namun pasca-putusan, tidak boleh ada aturan baru,” tegas Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Unusia Jakarta itu kepada NU Online, Kamis (2/12/2021).
Muhtar Said menjelaskan, untuk membaca putusan harus dilihat dari pertimbangan hukum yang dibuat oleh mahkamah. Sebab setiap putusan pasti berdasarkan legal reasoning atau pertimbangan hukum.
Lebih lanjut ia menegaskan, untuk melakukan perubahan undang-undang harus dilakukan sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam UU tersebut ada ketentuan dalam judul perubahan atas undang-undang.
“Namun yang terjadi adalah munculnya nama baru yakni UU tentang Cipta Kerja,” terang salah seorang pemohon uji formil UU Cipta Kerja itu menyebutkan amar putusan MK yang terdapat di halaman 398.
Selanjutnya, ia mencatat bahwa Omnibus Law tidak dikenal di Indonesia sehingga metode tersebut tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebagaimana yang termaktub dalam amar putusan MK halaman 402-404.
Kemudian di dalam amar putusan MK halaman 410-411, Muhtar menyebutkan bahwa mahkamah telah menemukan ada kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal. Padahal, katanya, setelah ada persetujuan dari DPR dan presiden tidak boleh ada perubahan secara substansi.
Tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar serta sistematika pembentukan undang-undang. Perubahan penulisan beberapa substansi pasca-persetujuan bersama DPR dan presiden itu bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 (Cipta Kerja) tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan harus dinyatakan cacat formil, sehingga mahkamah harus menyatakan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat,” kata Muhtar.
Dengan begitu, terangnya, harus dibentuk landasan hukum yang baku untuk menjadi pedoman dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode Omnibus Law. Kemudian berdasarkan pedoman baku itu dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan.
“Apabila sejak dua tahun (pasca) putusan ini diucapkan tidak dilakukan perbaikan maka mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional permanen (halaman 412-413),” jelas Muhtar.
Demi kepastian hukum, kata Muhtar, mahkamah beralasan UU Cipta Kerja masih berlaku karena di dalamnya juga mencabut banyak pasal di banyak undang-undang.
“Namun tidak dibenarkan untuk membentuk peraturan pelaksana baru atau melakukan pengambilan kebijakan strategis yang berdampak luas dengan menggunakan norma UU Cipta Kerja,” tegas Muhtar.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua