Masyarakat Bima termasuk salah sutu suku bangsa Indonesia yang memiliki bahasa khas tersendiri seperti halnya Madura, Jawa, dan Sunda. Salah satu karakter kekhasan bahasa Bima terdapat dalam beberapa kosakata bahasanya yang memiliki kemiripan dengan bahasa Arab.
Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Serapan Kosakata Bahasa Arab terhadap Bahasa Bima menuturkan bahwa bahasa Bima dipengaruhi oleh bahasa Arab.
Hasil riset yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 oleh kedua peneliti tersebut sepintas tidak masuk akal. Sebab, jika dilihat dari kedekatan teritorinya, Bima cenderung lebih dekat berhimpitan dengan Makassar yang identik dengan bahasa sansekerta. Oleh karena itu, jika bahasa Bima dikatakan mirip dengan bahasa Makassar, tentu lebih rasional (mudah diterima akal sehat) ketimbang dikatakan mirip dengan bahasa Arab.
Namun demikian, sebagai seorang peneliti riset ilmiah, Sri Wahyuningsih dan Nurul Zuhriyah mempertanggungjawabkan hasil temuannya dengan teori sejarah. Keduanya menyebutkan bahwa keterkaitan bahasa Bima dengan bahasa Arab terjalin sebab adanya proses Islamisasi yang mengajarkan agama Islam dengan bahasa Arab di tengah-tengah masyarakat Bima.
Untuk memperkuat teori tersebut, peneliti perlu mengungkapkan fakta sejarah. Menurutnya Islam masuk dan memberi bekas yang dominan terhadap masyarakat Bima telah terjalin cukup lama, sejak abad ke-17 M. Menurut M. Hilir Ismail, sebagaimana dikutip peneliti, sejarah masuk dan memengaruhinya ajaran Islam terhadap masyarakat Bima terjalin sejak tahun 1540 M.
Proses islamisasi tersebut berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540-1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan Islam pada tahun 1640-1950 M pada tahap awal Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.
Pada tahap kedua, Islam masuk di Bima melalui Ternate. Dari catatan Raja-Raja Ternate, dapat diketahui betapa gigihnya sultan Ternate bersama rakyatnya, dalam menegakkan nur Islam di wilayah timur nusantara. Pada masa Sultan Khairun, sultan Ternate ketiga (1536-1570), telah dibentuk aliansi Aceh Demak-Ternate. Juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokatul Molukiyah yang diperluas istilahnya menjadi Khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerja sama antara tiga negara Islam itu dalam penyebaran pengaruh Islam di wilayah Nusantara.
Tahap ketiga adalah pada masa kejayaan Islam. Yaitu pada masa sultan Baabullah (tahun 1570-1583), usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima. Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa para Mubaliq dari Sulawesi Selatan yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.
Dari sini dapat diketahui bahwa masuknya agama Islam di tanah Bima tentu memberikan sumbangsi besar bagi masyarakat Bima dalam mengenal kata kata bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan istilah- istilah dalam ilmu keislaman. Hal ini terlihat pada penggunaan kata- kata bahasa Arab oleh pendatang Arab sebagai pedagang, yang ikut membantu pengembangan Islam di Bima. Mereka bertempat tinggal di kampung yang berdekatan dengan Kampo Melayu yaitu 'Kampo Bente' (Kampung Benteng).
Menyusul setalah proses Islamisasi di Bima, selanjutnya, sistem pemerintahan di Bima menganut sistem kerajaan yang raja-rajanya berlatarbelakang Islam. Kebijaan Kesultanan Bima (perubahan sistem kerajaan menjadi kesultanan) menetapkan bahwa kesultanan Bima harus berdasarkan ajaran Islam dan adat yang Islami sebagaimana yang telah berlangsung selama lebih kurang 310 tahun sebelumnya. Para Sultan dan ulama inilah yang banyak memberi sumbangsih atas penggunaan istilah-isltilah arab dalam bahasa Bima.
Beberapa tradisi dan adat keislaman yang terdapat di Bima sejak masa Kesultanan adalah tradisi Maulid, Ari Raja To’i, dan Barjanzian. Tradisi Maulid dalam bahasa Bima disebut 'Molu'. Kata 'molu' di sini diserap dari bahasa Arab 'Maulud'. Melalui upacara Maulud, masyarakat akan sadar, bahwa untuk menegakkan kejayaan Islam, harus berani menghadapi berbagai tantangan yang berat, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Timbul kesadaran mereka untuk mengikuti jejak nabi sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Adat lain yang menggambarkan kedekatan bahasa Bima dengan bahasa Arab adalah tradisi tahlilan. Dalam bahasa Bima tradisi disebut 'jikir'. Kata 'jikir' diserap dari bahasa Arab 'Dzikir' yaitu memperbanyak mengingat tuhan dengan membaca lafat La Ilaha illa Allah. Dengan memperbanyak 'jikir' kepada Allah, niscaya akan meringankan beban manusia.
Beberapa tradisi ini sejatinya merupakan tradisi Islam murni yang oleh para pemukanya diajarkan di tengah-tengah masyarakat dengan menggunakan istilah-istlah Arab. Artinya, kedatangan Islam ke kota Bima selain memberi bekas terhadap sistem kepercayaan atau keagamaan masyarakat Bima, juga memberi bekas terhadap dialek bahasa Bima itu sendiri. Tentu penggunaan bahasa Arab dalam dalam bahasa Bima telah melalui sekian proses salinan, turunan dan bahkan perubahan pengucapan.
Namun demikian, hal ini kiranya cukup memberi bukti bahwa dialek bahasa Bima yang beberapa kosakatanya mirip dengan hasa Arab tidak dapat dilepaskan dengan proseses masuk dan berkembangnya agama Islam Arab di Bima.
Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan