Nasional

Peran Caregiver Masih Terabaikan, Negara Perlu Hadir dengan Pengakuan dan Regulasi yang Jelas

Senin, 17 November 2025 | 19:30 WIB

Peran Caregiver Masih Terabaikan, Negara Perlu Hadir dengan Pengakuan dan Regulasi yang Jelas

Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan Perlindungan Lansia Persatuan Wredhatama Republik Indonesia (PWRI) Andhi Santika dalam Talkshow Mengakui dan Meredistribusi: Feminisme, Kerja Perawatan, dan Keadilan Gender yang digelar di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Pekerja perawatan atau caregiver dinilai masih belum memperoleh pengakuan yang layak di Indonesia. Caregiver adalah orang yang memberikan perawatan, pendampingan, dan bantuan kepada seseorang yang membutuhkan dukungan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Orang yang dibantu bisa lansia, penyandang disabilitas, pasien yang sedang pemulihan, atau siapa pun yang memerlukan bantuan karena kondisi kesehatan tertentu.


Peran caregiver dinilai sangat penting dalam menopang sistem layanan kesehatan dan sosial. Karena itu, para pengamat dan akademisi menilai negara perlu hadir melalui regulasi yang tepat dan standar kompetensi yang lebih kuat.


Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan Perlindungan Lansia Persatuan Wredhatama Republik Indonesia (PWRI) Andhi Santika menegaskan bahwa perjuangan memperbaiki kondisi caregiver harus dimulai dari langkah mendasar, yakni membangun kesadaran publik dan pemahaman yang benar mengenai kerja perawatan.


“Pengakuan itu tidak mungkin muncul kalau kita belum benar-benar mendengar dan memahami persoalannya. Dua kata itu mendengar atau mengetahui dan mengerti harus jadi dasar sebelum kita bicara soal kebijakan,” ujarnya.


Pernyataan itu disampaikan dalam Talkshow Mengakui dan Meredistribusi: Feminisme, Kerja Perawatan, dan Keadilan Gender yang digelar di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).


Andhi menjelaskan bahwa konsep caregiver dalam masyarakat kerap dipahami keliru. Banyak pihak menganggap caregiver hanya berkaitan dengan kerja-kerja kesehatan, padahal cakupannya jauh lebih luas.


Caregiver itu bukan perpanjangan tenaga kesehatan. Ini profesi dengan kualifikasi dan kompetensi kelas nurse plus. Caregiver itu bagian integral dari sistem pelayanan, bukan sekadar bantuan domestik,” tegasnya.


Ia menerangkan bahwa layanan perawatan mencakup empat subsistem: penerima layanan, pemberi layanan, materi layanan, dan standar kompetensi. Menurutnya, negara sering salah kaprah karena menyamaratakan kebutuhan para penerima layanan.


“Ada empat kuadran penerima kaya-sehat, kaya-sakit, miskin-sehat, dan miskin-tidak sehat. Semua butuh caregiver, tetapi dengan pendekatan berbeda,” katanya.


Andhi kemudian menyoroti rendahnya kualitas pelatihan dan standar kompetensi caregiver saat ini. Ia mengkritik Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang disusun Kementerian Ketenagakerjaan karena dinilai tidak sesuai kebutuhan lapangan.


“Pelatihan caregiver kita sering hanya kejar sertifikat. Padahal ada 13 kompetensi inti yang wajib dilindungi undang-undang. SKKNI perlu direvisi, tetapi sudah dua tahun tidak diperbaiki,” ujarnya.


Ia menekankan bahwa layanan perawatan harus bersifat multisektoral dan multidisiplin, mencakup aspek kesehatan, psikososial, administratif, hingga perlindungan hukum. Namun faktanya, pelayanan di lapangan masih sangat berorientasi medis.


“Padahal delapan layanan itu sama pentingnya, bukan hanya kesehatan. Kalau pemerintah tidak masuk, maka kualitas layanan sulit dijaga,” ucapnya.


Karena itu, Andhi mendorong revisi Undang-Undang Lansia agar memuat regulasi khusus tentang caregiver. Pemerintah, katanya, perlu mengambil peran dalam penyediaan subsidi pelatihan, penguatan standar layanan, dan pemenuhan hak-hak caregiver.


“Pelatihan caregiver bisa mencapai 15 juta per orang. Banyak lembaga tidak mampu. Pemerintah wajib hadir, misalnya dengan subsidi tenaga pengajar dari Kemenkes, Kemensos, atau Kemnaker. Itu akan mengurangi beban dan meningkatkan kualitas,” jelasnya.


Andhi menambahkan bahwa rendahnya literasi mengenai isu kerentanan juga menjadi hambatan besar dalam perumusan kebijakan. Ia mengungkap bahwa bahkan di tingkat legislator sekalipun, pemahaman tentang Undang-Undang Lansia masih minim.


“Saya pernah tanya di Senayan, dan ada anggota DPR yang bilang ‘Apa benar undang-undang ini ada?’. Artinya literasi kerentanan harus dibangun dari DPR sampai masyarakat paling bawah,” tegasnya.


Ia menekankan pentingnya advokasi lintas sektor melalui pendekatan pentahelix, melibatkan pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dunia usaha, dan media.


“Kerentanan fisik, sosial, maupun psikologis tidak akan terbaca kalau pintu advokasi tidak dibuka luas. Forum seperti ini adalah advokasi strategis,” katanya.
 

Dosen Kajian Gender SPPB UI Hariati Sinaga menilai bahwa caregiver merupakan isu feminis yang kerap disembunyikan oleh konstruksi sosial. Ia menceritakan pengalaman pribadinya merawat orang tua yang sakit sambil tetap bekerja dan mengurus keluarga.


“Pengalaman ini dialami banyak perempuan, tetapi jarang diberi ruang untuk dibicarakan. Kita cuma ingin didengar,” ujarnya.


Hariati menjelaskan bahwa kerja perawatan adalah kerja reproduktif yang menopang seluruh aktivitas produktif masyarakat. Namun karena dilakukan di ruang domestik, kerja ini sering dianggap bukan pekerjaan.


“Dulu kerja merawat disebut cinta, bukan kerja. Padahal beban mental, emosional, dan kognitif itu nyata. Bahkan ketika badan istirahat, pikiran tetap bekerja,” katanya.


Menurutnya, invisibilitas kerja perawatan membuat kemampuan caregiver tidak diakui di dunia kerja formal. Keterampilan seperti manajemen emosi, multitugas, dan pengelolaan rumah tangga tidak dianggap sebagai kompetensi.


“Karena itu karier perempuan sering mandek. Mereka menanggung beban ganda, tetapi perusahaan tidak mengakui keterampilan perawatan sebagai aset,” jelasnya.


Hariati menegaskan bahwa persoalan gender, kekerasan, dan beban kerja perawatan membutuhkan kebijakan progresif dari negara.


“Kalau ditanya kebijakan paling mendesak? Sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Sudah 21 tahun menunggu. Itu kunci perlindungan banyak kelompok rentan,” serunya.