Perpres 9/2024 Tentang TPKS, Kepastian Hukum untuk Korban Kekerasan Seksual
Jumat, 26 Januari 2024 | 09:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024 yang membahas Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan serta Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Perpres ini ditujukan untuk aparat penegak hukum, tenaga layanan pemerintah, dan tenaga layanan pada lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat.
Mekanisme penyelenggaraan pelatihan akan dikomandoi oleh Menteri yang bekerja sama dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2023 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Perpres ini menjadi salah satu dari tujuh peraturan turunan yang mendukung implementasi UU TPKS.
Direktur Women Crisis Center (WCC) Anna Abdillah menyambut baik Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menurutnya, Perpres tersebut memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan oleh pendamping dan korban kekerasan untuk mendapatkan perlindungan hukum dari aparat penegak hukum.
"Ini menjadi angin segar sebab banyak praktik sulitnya mengimplementasikan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam konteks penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan," tutur Anna kepada NU Online, Kamis (25/1/2024).
Ia melihat Perpres 9 Tahun 2024 sebagai pedoman bagi praktisi hukum, institusi aparat hukum, polisi, jaksa, dan hakim untuk memahami unsur-unsur tindak pidana dan memberikan wawasan dalam penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang berfokus pada pemenuhan hak-hak korban.
Selama ini lembaga penyedia layanan ketika melakukan komunikasi atau pendekatan kepada institusi aparat penegak hukum masih alami kesulitan dalam menerapkan, memahami unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang ada dalam UU TPKS.
"Nah, aturan ini bisa menjadi satu pedoman untuk praktisi hukum, institusi aparat hukum, penegak hukum baik kepolisian kemudian kejaksaan juga hakim dalam memberikan wawasan bagaimana perspektif penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak Korban," kata perempuan jebolan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Surabaya itu.
Dalam pengalamannya menangani korban kekerasan seksual, Anna mencatat bahwa seringkali aturan secara substansial sangat ideal, tetapi pelaksanaan kebijakan hukumnya terhambat karena kurangnya aturan pelaksananya. Dia berharap Perpres ini, yang diprakarsai oleh Komnas HAM, segera diimplementasikan oleh seluruh penegak hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
"Aturan perpres ini bisa jadi kebutuhan penguatan kapasitas SDM bagi lembaga pelayanan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) juga lembaga penyedia layanan masyarakat," tutur Anna.
Dia berharap Perpres ini, yang diprakarsai oleh Komnas HAM, segera diimplementasikan oleh seluruh penegak hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
"Semoga ke depan bisa dipedomani dan bisa segera diimplementasikan oleh seluruh para penegak Hukum agar semakin kuat kapasitasnya dan juga skill penanganan kasusnya untuk merespon kebutuhan penanganan kasus yang ada di lapangan khususnya pemenuhan bagi hak-hak korban kekerasan seksual," tandas Anna.