Jakarta, NU Online
Prof Dr H. Huzaemah Tahido Yanggo, adalah sosok cendekiawan perempuan bersahaja nan alimah. Ia juga menjadi perempuan Indonesia pertama yang berhasil menyabet gelar doktoral dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Publik menobatkannya sebagai sosok ulama perempuan yang langka.
Dari kealimannya itu terlahir banyak karya yang memberi segudang manfaat bagi banyak orang. Mulai dari Pandangan Islam tentang Gender, Pengantar Perbandingan Mahzab, Konsep Wanita dalam Pandangan Islam, Fiqih Perempuan Kontemporer, hingga permasalahan-permasalahan fiqih yang tertuang dalam Masail Fiqhiyah: Kajian Fiqih Kontemporer, karya terbarunya.
Kisah pengabdiannya yang malang-melintang di berbagai instansi keagamaan pun sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari Prof Huzaemah. Satu dari sekian banyak kisahnya, diceritakan oleh Nyai Hj Mursyidah Thahir, yang merupakan murid sekaligus rekanan di organisasi sayap perempuan Nahdlatul Ulama, yakni Muslimat NU.
"Beliau itu selalu kami libatkan untuk membantu kami di bidang advokasi dan hukum pada setiap kongres atau rakernas, yang kemudian digelar bahtsul masail," kata Ny Mursyidah mengisahkan sosok Prof Huzaemah belum lama ini.
Selama 21 tahun berkhidmat di Muslimat NU, banyak kajian menarik yang ia hasilkan. Seperti, persoalan poligami yang tak jua mendapatkan titik terang dalam setiap obrolan di masyarakat, perkawinan beda agama, keputusan kasus aborsi yang tetap dinilai haram meskipun dengan dalih pengendalian penduduk dunia; hingga menyangkut polemik-polemik kekinian, antara lain: bank sperma, sewa-menyewa rahim, perceraian dari pernikahan dini, dan nikah mut'ah. Semuanya ia rumuskan sepanjang waktu hingga rela mengorbankan waktu istirahatnya.
"Beliau (Prof Huzaemah) itu tekun sekali selama kongres atau rakernas, sampai beliau menginap siang malam mempelajarinya di kamar sebelum hasilnya disampaikan di forum. Di setiap kajian yang hendak kita sajikan, beliau mempelajarinya dengan sangat teliti," tambahnya dengan nada kekaguman.
Kekaguman lainnya, Ny Mursyidah ungkapkan, ketika ia dan Prof Huzaemah beberapa kali menginap bersama saat menghadiri acara-acara yang diselenggarakan Muslimat NU. Ketawadluan dan kesahajaannya yang tak pernah luput dari sosok guru besar penyandang gelar Profesor perempuan ini, tergambar sangat jelas dalam perangainya.
"Saat menghadiri acara di Padang Pariaman, Ibu Huzaemah sekamar dengan saya. Dan, setiap sebelum shalat Subuh saya selalu meminta izin untuk disimak hapalan oleh beliau. Nah, ketika menyimak beliau itu nanti pas shalat Subuh selalu meminta saya untuk jadi imamnya," ungkap alumni IIQ Jakarta itu.
"Bu Mursyidah saja yang jadi imam, saya ikut, begitu, Prof Huzaemah mempersilakan kepada saya," sambungnya.
Kemudian, di lain waktu Muslimat NU mendelegasikan mereka berdua untuk pergi ke Palu sebagai narasumber di suatu acara. Pada satu pagi setelah acara selesai, diajaknya Ny Mursyidah berkeliling sembari mencicipi makanan khas di sana. Ada satu makanan khas Palu yang direkomendasikan oleh Prof Huzaemah, yaitu kaledo, sejenis sayur sop berisi kaki lembu dari Donggala.
Ia menyebutkan, di setiap lawatannya bersama Prof Huzaemah, sudah barang tentu Prof Huzaemah menitahkannya untuk berbagi cerita perjalanan mereka kepada rekanan Muslimat atau Komisi Fatwa di MUI. Ada kisah seru dan unik dari perjalanan ketika di Palu saat itu.
Ketika seorang warga Tionghoa bertanya soal kehalalan berjualan bakso babi kepada Prof Huzaemah. "Dia (warga Tionghoa) bilang 'Gak apa-apa kan saya berjualan babi yang penting halal?" cerita tokoh perempuan asal Kecamatan Muncar, Banyuwangi itu.
Seketika itu pula, Prof Huzaemah tertawa terpingkal-pingkal. Setelah diselidiki ternyata pandangan halal orang Tionghoa adalah segala sesuatu yang bukan hasil dari mencuri, itu halal. "Itu contoh-contoh kecil dari kisah perjalanan saya bersama Bu Huzaemah," kenangnya.
Ny Mursyidah mengutarakan rasa kebahagiaannya karena bisa sedekat itu dengan Prof Huzaemah. Ia mengaku bahwa sosok Prof Huzaemah adalah tokoh ulama perempuan yang sangat tawadlu, sederhana, dan apa adanya. Tak heran bila banyak orang dibuat terkesan olehnya.
"Prof Huzaemah itu orangnya memang mengesakan, bersahaja, apa adanya, dan tanpa beban. Beliau itu ikhlas sekali orangnya, dalam memuji kata-katanya selalu pas, bahkan ketika menegur pun perkataannya tidak membuat orang tersinggung. Beliau benar-benar teladan yang baik sekali," kenangnya sembari mengusap air mata.
Prof Huzaemah Tahido Yanggo, dikenal sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI, Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di Bank Niaga Syariah pada Tahun 2004 dan Ketua Dewan Pengawas Syariah di Insurans Takaful Great Eastern.
Sosok ulama perempuan yang syarat akan teladan keilmuannya itu telah berpulang pada Jumat (23/07/2021) di RSUD Serang, Provinsi Banten.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan