Refleksi Jelang Muktamar, Lakpesdam Sampaikan Tantangan NU Menuju Abad Kedua
Rabu, 10 November 2021 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akan digelar di Provinsi Lampung, pada 23-25 Desember 2021. Gelaran muktamar kali ini menarik banyak pihak, karena NU akan segera berusia satu abad sekaligus menuju abad kedua, sehingga NU perlu melakukan refleksi menjelang Muktamar ke-34 mendatang.
“Ini muktamar terakhir sebelum NU memasuki abad kedua, karena nanti pemilihan periode kepengurusan PBNU 2021-2026. Jadi muktamar sekarang ini benar-benar muktamar yang bisa mengantarkan NU untuk bisa memasuki abad kedua,” kata Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad dalam Halaqah yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), pada Rabu (10/11/2021).
Rumadi mengatakan, pada abad kedua nanti, bagi organisasi seperti NU harus menjadi momentum refleksi mengenai peran dan keterlibatannya dalam upaya mengatasi persoalan kebangsaan dan bahkan mengenai dinamika internasional.
“Dalam rentang waktu yang panjang (selama hampir satu abad), NU sudah mengalami berbagai macam situasi sulit termasuk tikungan-tikungan tajam yang harus dilalui yang kalau NU salah mengambil peran, mungkin keadaannya bisa runyam,” katanya dalam kegiatan yang bertajuk ‘Masa Depan Warga NU Menyongsong Muktamar 2021’ ini .
Rumadi menyampaikan, terdapat banyak tikungan yang bisa menjebak NU baik pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia maupun dalam tahun-tahun terakhir ini. Salah satu contohnya adalah peristiwa demonstrasi 212.
“Itu saya kira salah satu tikungan tajam yang waktu itu banyak orang salah menilai atau bahkan melihat peran organisasi seperti NU akan habis dengan gerakan 212. Karena saat ada gerakan 212 itu, satu-satunya organisasi yang terus terang tidak mau terlibat adalah NU. Tepatnya, Ketua Umum PBNU (KH Said Aqil Siroj),” terang Rumadi.
Dijelaskan Rumadi, terdapat banyak Indonesianis (pengamat asing yang meneliti Indonesia) datang ke Indonesia. Kemudian mereka membuat pengamatan dan penilaian bahwa peran organisasi Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah dalam waktu yang tidak terlalu lama akan digantikan oleh satu model gerakan Islam baru.
“Bandul Islam bukan lagi di Kramat Raya (PBNU) maupun Menteng (PP Muhammadiyah), tetapi akan bergeser ke Petamburan. Kira-kira begitu narasi besarnya. Tetapi saya tidak terlalu yakin dengan pengamatan seperti itu,” terang Rumadi.
Sebab hingga saat ini, NU dan Muhammadiyah nyatanya masih tetap tegak berdiri. Sementara organisasi yang dianggap oleh para pengamat akan menggantikan peran NU dan Muhammadiyah sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan.
Kiprah politik NU
Segmen lain adalah terkait dengan politik NU. Baik politik kenegaraan, politik kekuasaan, dan politik kerakyatan. Namun menurut Rumadi, persoalan politik kekuasaan tidak menjadi orientasi terpenting di kalangan NU, meskipun tidak mungkin juga NU tidak membicarakan atau mengabaikan sama sekali tentang kekuasaan.
“Itu sesuatu yang tidak penting. Jadi politik kenegaraan, kekuasaan, dan kerakyatan itu juga dialami oleh NU dalam rentang waktu yang panjang. Ketika NU misalnya bergabung dengan Nasakom (Nasionalis, Agamis, Komunis) itu juga bukan sesuatu yang mudah. Bahkan sampai sekarang ada orang yang mengaitkan NU dengan komunis. Itu juga masih ada sisa-sisa masa lalu yang kita hadapi sekarang ini,” terangnya.
NU penjaga demokrasi
Di sisi lain, kata Rumadi, NU sudah terlanjur diberikan penilaian oleh banyak orang sebagai kekuatan Islam moderat sekaligus penjaga demokrasi. NU merupakan organisasi yang turut mendirikan negara Indonesia sekaligus ikut memilih demokrasi sebagai jalan terbaik untuk mengelola keanekaragaman di Indonesia. Secara otomatis, NU juga ikut bertanggung jawab untuk mengawal demokrasi di negeri ini.
Persoalannya, sekarang mulai muncul banyak narasi kuat yang mulai meragukan konsistensi organisasi keagamaan seperti NU di dalam mendukung demokrasi. Misalnya, NU dinilai sebagai organisasi yang reaktif.
Kemudian, konsep Islam Nusantara dinilai sebagai cara pandang Islam yang eksklusif, NU dianggap semakin angkuh, dan permisif terhadap tindakan korupsi. Bahkan keterlibatan tokoh-tokoh NU di daerah dalam tindakan intoleransi juga dijadikan sebagai salah satu narasi yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap NU.
“Menurut saya, penilaian-penilaian seperti itu penting untuk diperhatikan. Karena salah satu jendela yang bisa digunakan untuk menentukan citra NU adalah hasil-hasil riset seperti ini, terutama yang dilakukan oleh dunia akademik. Itu seringkali menjadi jendela di dalam cara kita melihat atau membawa citra NU,” terang Rumadi.
Menurut Rumadi, NU di kancah internasional telah dikenal sebagai organisasi yang toleran dan moderat. Hal itu tidak terlepas dari narasi yang dibangun para akademisi dan peneliti yang melihat NU pada era 1990-an saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat Ketua Umum PBNU yang dinilai sebagai kekuatan organisasi keagamaan pendukung demokrasi.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi