Jakarta, NU Online
Sektot pertanian di Indonesia disebut sangat rentan terhadap perubahan iklim karena berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi dan kualitas panen yang dihasilkan.
Fenomena perubahan iklim yang semakin tidak menentu, berdampak langsung terhadap sektor-sektor primer salah satunya pertanian. Pergeseran waktu musim penghujan dan curah hujan yang fluktuatif bisa menyebabkan pergeseran pola tanam dan panen. Imbasnya produksi dan pasokan bisa terganggu yang berpotensi melahirkan persoalan sosial ekonomi lebih luas.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi peningkatan temperatur global rata rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 0 C antara Tahun 1990 dan 2100. Dampak dari pemanasan global (Global warming) akan mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif secara keseluruhan dapat mengancam keberhasilan produksi pangan.
Melihat dampak dari Pemanasan Global Kementerian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Hortikultura telah melakukan berbagai upaya adaptasi dan mitigasi guna meminimalkan dampak perubahan iklim.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Prihasto Setyanto mengatakan, rekayasa ketersediaan air adalah kunci keberhasilan mengadapi perubahan iklim. Terutama untuk komoditas subsektor hortikultura khususnya sayuran dan buah semusim termasuk yang rentan terdampak perubahan iklim.
"Bagaimana mengelola air saat berlimpah atau sebaliknya saat kekurangan air, sangat menentukan keberhasilan budidaya", katanya.
Ditjen Hortikultura telah mengembangkan model irigasi hemat air melalui teknologi sprinkle dan irigasi tetes (drip irrigation). Embung reservoir dibangun di sentra-sentra produksi untuk menampung air di musim penghujan. Saat musim hujan, lahan-lahan kering terlantar didorong untuk dioptimalkan pemanfaatannya.
Kementerian Pertanian menganjurkan penggunaan pupuk organik dalam jumlah yang cukup. Pupuk asal bahan organik terbukti mampu meningkatkan kemampuan tanah mengikat air. Seluruh limbah panen dianjurkan untuk dikembalikan ke tanah sebagai bahan kompos. Pemupukan disarankan tepat dosis dan tepat sasaran ke bagian tanaman menggunakan sistem deep placement Sementara pada model pertanian kota (urban farming), didorong pengembangan biopori untuk meningkatkan penyerapan air.
Prihasto menambahkan, optimalisasi pemanfaatan lahan penting dalam upaya adaptasi dan mitigasi agar keberlangsungan budidaya pertanian dapat terus dijaga. Lahan sayuran bisa diintegrasikan dengan tanaman perkebunan bahkan peternakan. Penggunaan mekanisasi pertanian juga bisa menekan praktik pembakaran lahan dan sisa panen.
"Penting juga diperhatikan kaidah konservasi lahan terutama untuk kountur lahan berlereng, bedengan harus dibuat melintang memotong bidang lereng. Masyarakat mengenalnya dengan istilah nyabuk gunung. Jangan sampai dibuat membujur searah lereng. Sebagai penguat konservasi, bisa ditanami dengan tanaman perkebunan seperti kopi,” imbuhnya. (Red: Ahmad Rozali)