RMINU DKI Jakarta Diskusikan Pasang Surut Hubungan Pesantren dan Negara
Jumat, 22 November 2019 | 02:00 WIB
Hadir sebagai narasumber Wakil Menteri Agama RI Zainut Tauhid Sa`adi, Ketua PP RMINU KH Abdul Ghaffarrozin (Gus Rozin), Kepala Biro Dikmental Pemprov DKI Jakarta Hendra Hidayat, Kepala Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta H Saiful Mujab, dan peneliti sejarah Islam Ustadz Rakhmad Zailani Kiki.
Zainut Tauhid menyampaikan bahwa dia diamanahkan oleh Presiden Jokowi untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama, membangun dakwah yang menyejukkan di Indonesia, membangun dakwah yang menyejukkan, yang menyampaikan pesan-pesan damai, Islam yang wasathiyah, Islam yang rahmatal lil alamin.
Ia menyampaikan bahwa dirinya ditugaskan untuk membantu Menteri Agama untuk membangun sinergi pesantren dengan dunia usaha sehingga pesantren dapat mengembangkan potensi yang ada di dalamnya. Pesantren juga diharapkan dapat berperan dalam melawan radikalisme, walau dirinya sendiri lebih setuju dengan istilah ekstremisme. Namun karena sudah terlanjur populer radikalisme, maka pengertian radikalisme harus dipahami secara utuh.
“Radikalisme bukan masalah cadar atau celana cingkrang, karena itu hal yang lain. Radikalisme di sini adalah sebuah upaya untuk menggoyang sendi-sendi negara, menganti ideologi dan sistem negara dan pemerintahan,” kata Tauhid.
Gus Rozin memberikan apresiasi atas pengesahan UU Pesantren walau proses lahirnya UU tersebut tidak mudah, terjadi perdebatan sengit, terutama dalam pencantuman istilah kitab kuning. Pasalnya, ada pihak mengajukan keberatan sebab ada pondok pesantren yang tidak mengajarkan kitab kitab. Padahal, menurut Gus Rozin, justru kitab kuning merupakan sesuatu yang melekat dalam istilah pondok pesantren.
Menurutnya, umat Islam patut bersyukur atas keluarnya UU Pesantren karena dengan UU ini ada rekognisi, pengakuan, dari negara terhadap pondok pesantren. Namun perlu dicatat, pondok pesantren juga harus hati-hati dalam menyikapinya terutama dalam pemberian dana oleh pemerintah terhadap pondok pesantren sebagai konsekuensi adanya UU Pesantren.
“Jangan sampai karena dana bantuan, ada surat cinta dari kejaksaaan untuk pesantren. Jika pesantren tidak mampu mengelola dana bantuan, sebaiknya dana bantuan itu ditolak saja. Toh itu sifatnya opsional dan pesantren berhak menolak karena tanpa dana bantuan pemerintah sudah ratusan tahun yang lalu dan sampai sekarang pesantren tetap dapat berjalan,” ujarnya.
Peneliti sejarah Islam Rakhmad Zailani Kiki menjelaskan, pesantren di Jakarta begitu populer pada masanya keberadaan Pondok Pesantren Guru Marzuqi Muara, Jakarta Timur. Dari pondok pesantren ini lahir banyak alim ulama Betawi terkemuka yang sebagian juga mendirikan pondok pesantren di Jakarta.
Saat ini, pondok pesantren di Jakarta bukannya tidak populer, tetapi hanya sedikit jumlahnya. Karenanya, umat Islam di Jakarta dan pihak-pihak terkait perlu memperkuat keberadaan pesantren di Jakarta sebagai wilayah yang memang diberkahi Allah SWT karena perjuangan dari alim ulama dalam dakwah dan pengabdian mereka.
Editor: Alhafiz Kurniawan