Jakarta, NU Online
Rasa prihatin melihat lulusan perguruan tinggi Islam kurang mendalami keilmuan Islam, membuat Imam Suprayoga merenung. Apalagi perguruan tinggi Islam didirikan berangkat salah satunya dari semangat melahirkan ulama yang intelek, dan intelek yang ulama.
Hal itu disampaikan Imam saat mengisi Seminar Nasional Sarung Nusantara di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (6/4).
“Setelah saya lihat perguruan tinggi Islam di Indonesia dari Aceh sampai ke wilayah timur, kalau disebut ulama kok begitu, mau disebut intelek kok ya begitu. Sepertinya kurang jelas ya,” cerita Imam disambut tawa hadirin.
Renungan Imam membuahkan beberapa ide dan akhirnya terwujud dalam sejumlah gerakan. Ketika ia menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, kampus tersebut tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan perkuliahan akademik. Siang hari perkuliahan berlangsung seperti kampus lainnya. Tetapi pada sore malam harinya dimanfaatkan sebagaimana pola pengajaran di pondok pesantren.
Tidak hanya dalam pola kegiatan dan pengajaran, tetapi juga dalam tata cara berpakaian. Bila pada pagi hari mahasiswa berpakaian umum, seperti bercelana panjang; pada kegiatan sore dan malam hari mahasiswa mengenakan seperti pakaian di pondok pesantren, yakni bersarung dan memakai kopiah.
“Bahkan pada pagi hari ada mahasiswa yang mengenakan pakaian seperti di pesantren, yakni bersarung. Dan kita izinkan itu,” lanjut Imam.
Imam sendiri sangat tertarik saat melihat Usman Mansur, waktu itu menjabat sebagai dekan, yang berpenampilan memakai sarung, sandal selop, berjasa dan kopiah.
“Kok anggun sekali kalau dilihat. Maka saya mengembangkan dunia kampus seperti dunia pesantren. Akibatnya rektor tidak pernah didemo karena memakai sarung,” kata Imam kembali disambut tawa hadirin.
Karena pola tersebut, suasana kampus lalu berubah menjadi santi yang mahasiswa dan mahasiswa yang santri.
Perubahan tersebut bukan karena dilihat dari pakaian, tetapi kegiatan yang dilakukan yang memang khas pesantren, seperti kewajiban salat berjamaah, zikir, pengajian kitab kuning, khotmul Quran, istigotsah.
“Setelah itu orang pada bertanya kalau di universitas ada pesantren, lalu strukturnya bagaimana, posisi kiai di mana, rektor di mana? Dan kampus ini mau dibawa ke mana? Saya jawab, kampus nggak akan dibawa ke mana-mana tetap di sini,” lanjut Imam. Kembali para hadirin tertawa.
Menurut Imam, mudah saja menjawab kegelisahan orang akan hal tersebut. Karena waktu itu ia lalu membuat rukun universitas.
“Rukun universitas itu harus harus ada kiai, harus ada masjid, dan harus ada pesantren,” tegas Imam. (Kendi Setiawan/Mukafi Niam)