RUU KKS Dinilai Perlebar Jurang antara Keamanan Negara dan Hak Digital Warga
Senin, 20 Oktober 2025 | 21:00 WIB
Perwakilan Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar di Tebet, Jakarta, Senin (20/10/2025) (Tangkapan layar kanal Youtube Imparsial)
Jakarta, NU Online
Wacana pembentukan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) kembali menuai kritik, rancangan kebijakan ini berpotensi memperlebar jurang antara kepentingan keamanan nasional dan perlindungan hak digital warga negara.
Perwakilan Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai arah kebijakan digital Indonesia saat ini justru menunjukkan kemunduran dalam menjamin hak-hak warga di ruang siber.
“Kalau melihat tren global, skor digital rights Indonesia sangat rendah. Data World Justice Project mencatat nilai kita hanya 0,9. Ini menunjukkan bahwa perlindungan hak digital masih menjadi problem serius,” ujarnya dalam diskusi publik bertema Menyoal Peran TNI dalam Keamanan Siber yang digelar Imparsial di Tebet, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Menurut Erwin, RUU KKS belum memiliki kejelasan posisi dalam sistem hukum nasional. Banyak istilah dan konsep yang digunakan dalam draf rancangan undang-undang tersebut tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada, seperti UU ITE dan UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Alih-alih memperkuat keamanan digital, RUU ini bisa menimbulkan kebingungan hukum baru. Ketidakjelasan definisi seperti apa itu ‘ajaran digital’ atau ‘serangan siber’ bisa membuat tafsirnya sangat luas dan rawan disalahgunakan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti absennya pendekatan hak asasi manusia dalam perumusan RUU tersebut.
“RUU KKS tidak menunjukkan keberpihakan pada hak warga, baik dalam hal privasi, kebebasan berekspresi, maupun perlindungan data pribadi. Semua diarahkan pada keamanan negara, bukan keamanan manusia,” tegas Erwin.
Erwin mengingatkan bahwa keamanan nasional tidak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan hak digital masyarakat. Ia menilai, solusi atas lemahnya keamanan siber nasional seharusnya bukan dengan memperluas kewenangan aparat, melainkan memperkuat kelembagaan pelindung data dan regulasi yang sudah ada.
“Contohnya, PP turunan dari UU PDP belum juga selesai, padahal itu justru kunci utama untuk membangun sistem keamanan digital yang berkeadilan,” tuturnya.
Senada, Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha menilai bahwa keterlibatan militer dalam urusan siber akan memperburuk situasi kebebasan sipil.
“Militerisasi ruang siber bisa menjadi alat penindasan baru bagi masyarakat sipil. Negara seharusnya menjamin kebebasan berekspresi dan privasi warga, bukan malah memperluas kontrol lewat aparat militer,” ujarnya.
Annisa menegaskan, kebijakan siber yang baik harus menempatkan manusia sebagai pusatnya (human-centric). “Kalau negara mengedepankan keamanan tanpa menjamin hak digital, maka demokrasi kita akan mundur jauh,” katanya.
Menurut kedua narasumber, penguatan keamanan nasional semestinya berjalan seiring dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tanpa prinsip itu, Indonesia akan menghadapi risiko besar yaitu negara aman secara teknis, tetapi warga kehilangan kebebasan di dunia digital.