Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Dwi Rubiyanti Kholifah. (Foto: Istimewa)
Jakarta, NU Online
Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Dwi Rubiyanti Kholifah, mengaku kecewa dengan kinerja DPR yang kembali menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Pasalnya, kata dia, korban kekerasan seksual beserta keluarga dan pendampingnya, serta masyarakat umum sudah menunggu penetapan RUU TPKS.
“Tentu saja ini sangat mengecewakan bagi korban kekerasan seksual dan keluarganya, yang selama ini sangat menantikan keadilan,” kata Ruby, demikian sapaan karibnya lewat keterangan yang dikirim kepada NU Online, Sabtu (18/12/2021).
Ia menegaskan bahwa ada beberapa hal yang harus diingat oleh DPR selaku wakil rakyat. Pertama, DPR dalam sistem demokrasi Indonesia adalah representasi rakyat. Mereka dipilih oleh rakyat, dan berjanji akan mementingkan kepentingan rakyat.
Namun, buktinya, sejak periode 2014-2019 hingga akhir periode jabatan mereka, tidak satupun daftar inventaris masalah (DIM) RUU TPKS disepakati. Akibatnya, RUU TPKS tidak dimasukkan sebagai RUU carry over melainkan harus dimulai dari awal.
“Nah, saat ini rakyat perempuan dan anak mengalami sejumlah kekerasan seksual yang mengancam masa depan mereka. Maka tugas DPR sederhana, yakni mendengarkan suara-suara korban kekerasan seksual dan menggunakan suara mereka sebagai landasan untuk menentukan kebijakan yang komprehensif dengan memberikan perlindungan dan menghukum pelaku,” terang Ruby.
Kedua, lanjut dia, proses yang sudah panjang dalam merespons usulan masyarakat ini menunjukkan kerja tidak efektif di internal DPR. Dugaannya, bisa disebabkan karena pemahaman dan pengetahuan yang kurang luas terkait isu tersebut, atau tidak ada dukungan memadai untuk menyelesaikannya.
“Tapi saya rasa tidak mungkin yang kedua, karena keberadaan dewan itu mendapatkan dukungan penuh dari negara,” ucap Direktur AMAN Indonesia itu.
Publik kebingungan
Menurut dia, ketidakjelasan status RUU TPKS di parlemen menimbulkan kebingungan publik. Terutama tidak transparannya proses di DPR sangat menyulitkan masyarakat dalam mengawal RUU tersebut.
“Proses yang lama ini, tidak memberikan tanda-tanda positif pada peningkatan empati maupun kapasitas analisis para dewan,” ujar Aktivis Perempuan asal Banyuwangi itu.
Ruby berharap pembahasan RUU TPKS dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat sipil agar substansinya berpihak pada korban kekerasan seksual. Hal itu dapat dilakukan dengan membuka akses bagi masyarakat terhadap proses pembahasan.
“Seharusnya sih masalah ini sederhana. Ada banyak kekerasan seksual, korban berjatuhan, maka dibutuhkan perlindungan berupa kebijakan. Itu DPR yang harusnya kerjakan,” tegasnya.
Poin ketiga, tambah Ruby, penundaan pembahasan RUU TPKS di sidang paripurna dengan alasan belum siap harus dibahas secara terbuka dan transparan.
“Bagaimana mungkin masalah yang urgen ini tidak siap dibahas. Sementara proses sudah lama, dan semua perangkat negara maupun fasilitas ada dan bisa dimaksimalkan,” sergahnya.
“Jika memang memiliki konsen tinggi, maka apapun akan dilakukan untuk bisa RUU ini dibahas di parlemen,” imbuh peraih 100 perempuan berprestasi versi BBC pada 2014 ini.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori