Nasional

S Mandah: Mengabdi di Madrasah, Mencatat Puisi sebagai Ungkapan Gundah

Selasa, 7 Oktober 2025 | 14:15 WIB

S Mandah: Mengabdi di Madrasah, Mencatat Puisi sebagai Ungkapan Gundah

S Mandah Syakiroh, penyair dan pengajar MTs NU Putri Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Namanya Sri Mandah Syakiroh. Saban hari, ia mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (MTs NU) Putri Buntet Pesantren, Cirebon. Di tengah kesibukannya itu, ia terus berkarya menuangkan segala keresahannya pada bait-bait puisi.


Tak pelak, dari tangannnya itu telah lahir dua buku kumpulan puisi, Sabda Mendung (2023) dan Prigel (2025). Buku-buku tersebut merupakan himpunan karyanya yang telah terbit di berbagai media cetak dan elektronik.


Ia memang sengaja menuliskan segala kegundahannya pada puisi. Rasanya, puisi bagi Mandah adalah tempat paling pas untuk mencurahkannya.


"Sejauh ini memang aku lebih sering menulis puisi dibanding menulis yang lain. Hal itu mungkin karena aku bisa lebih leluasa menyuarakan ide dalam bentuk metafora," katanya kepada NU Online, Senin (6/10/2025).


Sebab menurutnya, keresahan dan kesedihan atau kebahagiaan bisa diolah menjadi sekreatif dan seinti mungkin menjadi puisi. Terlebih sewaktu kuliah di Universitas Indraprasta Jakarta, ia memilih divisi puisi dalam komunitas sastra yang digelutinya, Komunitas Ranggon Sastra.


"Karena itu, aku digembleng bertahun-tahun oleh guru menulisku, Bang Ali Ibnu Anwar, untuk menulis puisi tanpa henti dan tanpa ampun," katanya.

Ia terus menulis dan berkarya. Produktivitas itu diakuinya karena tersulut kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam buku yang berjudul Arus Balik.


"Tetapi manusia tanpa cipta, merosot. Terus merosot sampai ke telapak kakinya sendiri, merangkak, melata...," demikian ia mengutip petikan dari novel penting itu.


"Karenanya, aku ingin terus menjadi manusia yang mencipta dan berkembang. Lantas aku mencoba untuk terus menulis puisi," ujarnya.


Dalam puisi-puisinya, ia kerap mengambil diksi-diksi dari bahasa lokal. Pilihan itu tentu atas kesadarannya secara penuh sejak ia kembali menetap di kampungnya. Dari perhatiannya pada hal-hal sekitar, diksi-diksi itu mengemuka menjadi bait-bait puisi.


"Salah satu yang amat masuk perhatianku adalah penggunaan bahasa lokal yang kian memudar. Terutama di kalangan generasi sekarang. Sayang sekali rasanya jika bahasa lokal tersebut harus benar-benar ditinggalkan," katanya.


Dengan kesadaran itu, ia merasa memiliki tantangan sendiri untuk melakukan sesuatu. Mandah kemudian mencoba mengakrabkan kembali bahasa lokal yang mulai asing itu kepada generasi saat ini melalui puisi.


Berkarya melalui puisi dan mengabdi sebagai guru tampak seperti hal berbeda. Namun baginya, hal tersebut sangatlah berkaitan. Sebab, tak sedikit puisinya yang justru mengangkat kehidupan atau hal-hal unik yang dialami para siswa di madrasah yang notabene adalah penduduk asli desa dan santri.


"Sebenarnya judul buku yang kedua, Prigel, juga merupakan hasil dari pengamatanku setelah banyak interaksi dengan para siswa di sekolah. Yang ternyata, entah itu penduduk asli atau santri, memang asing dengan kata Prigel," katanya.


Selain kata Prigel, masih banyak lagi kata-kata lokal yang mereka tidak tahu. Di situ, ia mencoba masuk sedikit demi sedikit untuk kembali memperkenalkan bahasa lokal pada mereka. "Tentunya itu di luar jam pelajaran bahasa Indonesia," katanya.

Terjunnya ke dunia puisi itu diawali keisengannya pada kata-kata indah yang ia kaji bersama pamannya, Ustadz Zahrul Falah, selepas mengaji kepada KH Amiruddin Abdul Karim.


"Kegiatan itu rutin kami lakuan sedari kami masih duduk di bangku kelas satu MTs sampai kelas tiga Aliyah. Kegiatan itu berhenti karena setelah lulus Aliyah aku kuliah di Jakarta, sementara pamanku mondok di Lirboyo," katanya.


Pada momen-momen itulah, ia mengaku belajar dan berkenalan dengan puisi. Bisa dibilang juga puisi pertamanya tercipta pada saat itu.


"Hingga saat ini aku keterusan menulis puisi," kata penyair yang karyanya pernah dipamerkan di Taman Ismail Marzuki pada Agustus 2025 lalu itu.