Sarbumusi NU Nilai Proses Pengesahan RUU Cipta Kerja Tidak Transparan
Selasa, 6 Oktober 2020 | 07:15 WIB
Jakarta, NU Online
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU melalui rapat paripurna, pada Senin (5/10) kemarin. Pengesahan ini menimbulkan banyak protes dari berbagai pihak, terutama kalangan buruh.
Wakil Presiden Dalam Negeri Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K-Sarbumusi) NU, Sukitman Sudjatmiko menyayangkan pemerintah yang tidak transparan dan tidak memasukkan pasal 59 ke dalam draf pembaruan yang kemudian disahkan.
“Pertama kita menolak dan menyayangkan terhadap prosesnya yang tidak transparan dan pasal 59 yang tidak dimasukkan ke dalam draf terbaru,” katanya.
Pasal tersebut mengatur soal tenaga kontrak. Di UU Cipta Kerja yang sudah disahkan itu, pasal 59 tidak dicantumkan. Artinya, pemerintah tidak mengatur secara rinci batas waktu pembaruan tenaga kerja kontrak.
Ketentuan mengenai detail jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja, akan diatur dengan kebijakan turunan melalui peraturan pemerintah.
Sebelumnya di dalam Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit telah disepakati agar pasal tersebut dimasukkan ke dalam UU. Sukitman juga menegaskan, serikat pekerja dan Asosiasi Pengusaha Indonesia telah sepakat bahwa pasal 59 tersebut mesti dihidupkan kembali.
“Ini yang kita sayangkan. Pasal (59) ini tidak dimasukkan oleh pemerintah menjadi salah satu pembaruan ke DPR. Padahal ini sudah kesepakatan,” katanya kepada NU Online, Selasa (6/10) pagi.
Sarbumusi, kata Sukitman, akan bersikukuh untuk memperjuangkan pasal 59 ini yang berdampak pada keanggotaan serikat pekerja atau buruh. Menurutnya, jika pekerja banyak yang berstatus kontrak akan membuat enggan untuk berserikat.
“Kita akan berjuang di pasal 59 itu. Kemungkinan kita akan melakukan judicial review terhadap pasal 59 yang tidak diakomodir oleh pemerintah. Itu sikap kita,” tegas Sukitman.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pada dasarnya Sarbumusi bisa menerima hasil RUU Cipta Kerja yang telah disahkan itu. Namun dengan beberapa catatan penting yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah soal kesepakatan yang tidak diakomodasi oleh pemerintah itu.
“Padahal jantungnya serikat buruh itu ada di sana (pasal 59). Makanya kita akan melakukan judicial review terkait pasal itu,” jelas Sukitman.
Pernyataan sikap presidium serikat buruh Indonesia
Sehari sebelum pengesahan RUU Cipta Kerja, yakni pada 4 Oktober 2020 lalu, Presidium Serikat Pekerja / Serikat Buruh Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap terkait aturan yang kini telah disahkan itu.
Pernyataan sikap itu ditandatangani oleh para pimpinan dari empat serikat buruh yakni Presiden K-Sarbumusi H Syaiful Bahri Anshori, Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Yorrys Raweyai, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi, dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban.
Terdapat tujuh poin pernyataan sikap yang disampaikan oleh Presidium Serikat Buruh Indonesia itu. Pertama, advokasi soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja sudah melalui jalan panjang dengan melakukan kajian kritis, kirim surat masal bersama, lobi-lobi atau audiensi ke pemerintah, DPR, aksi unjuk rasa.
“Termasuk publikasi media sampai masuk terlibat dalam Tim Tripartit untuk menyuarakan kritisi soal substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Proses perjuangan tersebut sedang kita kawal terus agar sesuai harapan buruh Indonesia,” demikian bunyi poin pertama.
Kedua, pada prinsipnya Presidium Serikat Buruh Indonesia akan melakukan koreksi dan penolakan atas segala kebijakan apa pun yang merugikan rakyat, khususnya pekerja/buruh Indonesia.
“Soal cara jalan perjuangan tentu tidak harus sama dengan komponen serikat buruh atau serikat pekerja lain untuk tujuan yang sama,” bunyi poin kedua dari pernyataan sikap yang diterima NU Online ini.
Ketiga, Presidium Serikat Buruh ini memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dampak pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan menghantam sektor ekonomi serta aspek kesehatan yang sangat berbahaya bagi masyarakat Indonesia.
Keempat, menimbang saran masukan yang berkembang terutama daerah-daerah dan pengurus tingkat perusahaan akan situasi lapangan dan kondisi ribuan anggota yang masih banyak dirumahkan, serta belum selesainya kasus ribuan PHK Pekerja atau buruh yang menjadi anggota dari keempat konfederasi ini.
“Maka dengan mempertimbangkan hal-hal itu kami tidak akan ikut aksi mogok nasional tanggal 6-8 Oktober 2020,” begitu bunyi poin kelima yang berkaitan dengan poin ketiga dan keempat.
Selanjutnya, di poin keenam, supaya lebih tepat dan tidak keliru, akan ada penentuan sikap dan langkah lanjutan setelah mendapatkan dan mempelajari secara saksama dokumen resmi klaster ketenagakerjaan hasil rapat Panja Baleg DPR RI secara utuh.
“Kepada seluruh anggota kami untuk tetap tenang tapi tetap waspada dengan situasi yang berkembang dan tunggu instruksi kami lebih lanjut,” demikian poin ketujuh, yang menjadi akhir dari pernyataan sikap itu.
Mogok kerja nasional
Sukitman menjelaskan bahwa yang pada hari ini hingga 8 Oktober melakukan mogok massal secara nasional adalah buruh yang berada di bawah naungan dua konfederasi buruh.
Keduanya adalah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) yang dikomandoi oleh Andi Ghani dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia di bawah komando Said Iqbal.
“Kedua konfederasi buruh yang hari ini mogok kerja nasional itu adalah konfederasi terbesar di Indonesia, selain K-SPSI Yorrys, K-Sarbumusi, dan KSPN,” jelas Sukitman.
Sementara itu Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan bahwa akan tetap melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020. Menurutnya, mogok kerja nasional itu sudah sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 21 Tahun 2000.
“Khususnya pasal 4 yang menyebutkan fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan,” jelas Said, dikutip dari Situs Resmi KSPI, pada Selasa (6/10) siang.
“Selain itu dasar hukum mogok nasional yang kami lakukan adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa mogok kerja nasional ini akan diikuti dua juta buruh (sebelumnya direncanakan lima juta). Dua juta buruh tersebut dari berbagai sektor. Beberapa di antaranya adalah sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, dan otomotif.
Kemudian industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja Pelabuhan, logistik, dan perbankan.
Adapun provinsi-provinsi yang akan mogok kerja nasional adalah Jawa Barat, Jakarta, Banten, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Lampung, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad