Nasional

Sejarah Perjuangan Ulama NU Harus Jadi Kurikulum Pegangan Pelajar

Senin, 19 Oktober 2020 | 02:30 WIB

Sejarah Perjuangan Ulama NU Harus Jadi Kurikulum Pegangan Pelajar

Seorang warga melihat pameran lukisan para ulama di Jakarta beberapa waktu lalu. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Kiprah dan khidmat para ulama Nahdlatul Ulama (NU) serta santri dalam memertahankan kemerdekaan demikian nyata. Oleh karena itu, sejarah perjuangan para kiai ini harus dijadikan kurikulum dalam sebuah buku pegangan pelajar sesuai tingkatannya.


Hal tersebut disampaikan Wakil Katib PWNU Jatim, KH Sholeh Hayat, saat didapuk menjadi narasumber bedah buku ‘Fatwa dan Resolusi Jihad’ karya KH Ng Agus Sunyoto, yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PW LTNNU Jatim), Sabtu (17/10).


“Tanpa ada fatwa dan resolusi jihad yang membakar semangat para santri dan warga Indonesia, negara ini bisa saja kembali jatuh ke tangan penjajah Belanda pasca kemerdekaan. Maka, jangan hanya peringatan saja. Tetapi, mereka harus tahu esensi sejarahnya pula,” ungkapnya dalam kegiatan daring ini.


Lebih lanjut, dikatakannya bahwa langkah awal yang perlu dilakukan agar kurikulum ini bisa terealisasi adalah harus didiskusikan terlebih dahulu antara PW LTNNU Jatim dengan PP LP Ma’arif NU.



 

“Kita sudah terlalu sering membahas masalah ini. Tetapi, harus ada feed back bagi masyarakat luas sehingga sejarah bisa terungkap secara terang,” tandas Kiai Sholeh.


Intelektual muda NU Zainul Milal Bizawie pada kesempatan yang sama menambahkan, harus ada gerakan akademis yang menyebarluaskan sejarah ini. ”Contohnya dengan memuat jurnal-jurnal ilmiah yang dituangkan dengan analisis menarik, sehingga kita tidak ketinggalan dengan golongan minhum,” ungkapnya. 


Ia juga mengatakan, dalam menyusun karya tulis sejarah ini para generasi muda harus semangat. Pasalnya, jika sejarah tidak dikumpulkan dalam sebuah arsip tulisan maka sejarah itu akan tenggelam seiring berkembangnya waktu.


Beda Fatwa dan Resolusi
Menurut Ketua Lesbumi PBNU KH Ng Agus Sunyoto, term fatwa dan resolusi jihad itu dipisahkan. Alasannya karena sasarannya berbeda. ”Kalau fatwa fi sabilillah itu seruan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari kepada umat muslim untuk memerangi tentara sekutu,” ungkapnya.


Seruan ini yang menyatukan seluruh umat muslim dari pelbagai pelosok untuk melawan sekutu. Bahkan, orang yang notabene bukan berasal dari Surabaya pun berbondong-bondong datang ke Kota Pahlawan itu untuk ikut menyerang sekutu.


“Mereka mendapat seruan ini dari mulut ke mulut, surau ke surau, masjid ke masjid yang saat itu NU sudah menyebar di pelbagai pelosok Jawa,” terang Kiai Agus.


Adapun Resolusi Jihad fi Sabilillah, lanjut dia, merupakan sebuah ultimatum NU kepada pemerintah Republik Indonesia yang diserukan melalui media surat kabar. Di antaranya media kabar Antara (terbit 25 Oktober 1945), Kedaulatan Rakyat (26 Oktober 1945), dan Berita Indonesia (27 Oktober 1945).


“Ini menjadi bukti autentik bagi orang-orang yang tidak mempercayai bahwa resolusi jihad itu benar-benar ada dan menjadi cikal bakal arek-arek Suroboyo sehingga berani mati dengan jaminan Syahid,” pungkasnya.


Pantauan NU Online, masih terdapat beberapa rangkaian acara dalam menyemarakkan hari santri nasional tahun ini. Hari ini, 19 Oktober 2020, dijadwalkan webinar bertema Ahlu Halli wali Aqdi: Sejarah, Konsep, dan Kontruksi Sistem Transisi Politik NU.


Kemudian pada Rabu, 21 Oktober 2020, akan digelar pendidikan kader muallif secara virtual, Kamis, 22 Oktober resepsi Hari Santri. Puncaknya, Jumat 23 Oktober 2020 dilaksanakan pembacaan istighotsah untuk keselamatan bangsa.


Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori