Shalat Jumat di Masjidil Haram: Penuh Sesak Jamaah, Tapi Nyaman
Sabtu, 25 Juni 2022 | 18:00 WIB
Makkah, NU Online
Siapa yang tak ingin bisa shalat di Masjidil Haram? Tempat yang setiap kali shalatnya setara dengan 100 ribu kali shalat di masjid biasa. Hanya sedikit orang yang beruntung dari 1.6 Miliar umat Islam di seluruh dunia yang dapat menundukkan kepala untuk bersujud secara langsung di Baitullah, shalat secara langsung di hadapan Ka’bah tanpa terhalang oleh apapun.
Jutaan calon jamaah haji Indonesia mengantre untuk bisa berangkat. Antrian yang dibagi berdasarkan daerah ini kebanyakan telah mencapai 50 tahun untuk bisa berangkat. Mereka yang beruntung diberangkatkan pada tahun ini, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk berlama-lama dan memaksimalkan ibadah di Masjidil Haram.
Jumat yang merupakan hari besar bagi umat Islam menjadikan Masjidil Haram lebih ramai dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Para peziarah berusaha memanfaatkan waktu dapat menunaikan shalat Jum’at di sana. Jamaah haji Indonesia yang sudah berada di Makkah sejak pagi sudah berduyun-duyun ke Masjidil Haram supaya mendapatkan tempat strategis. Tak hanya laki-laki, jamaah perempuan pun, yang umumnya tidak melaksanakan shalat Jumat ketika di Indonesia, tak ingin kehilangan kesempatan beribadah di sana.
Rombongan tim Media Center Haji (MCH) pada Jumat padi (24/06/2022) melakukan peliputan di salah satu hotel di sektor 5 daerah di Misfalah pukul 09.30 waktu Arab Saudi. Namun sebagian jamaah ternyata sudah pergi ke Masjidil Haram. Setelah menemui beberapa orang narasumber, kami pun meluncur ke Masjidil Haram dengan menggunakan angkutan bus Shalawat -angkutan khusus jamaah haji Indonesia- yang beroperasi selama 24 jam.
Jalanan di Kota Makkah lebih sepi pada hari Jumat karena hari tersebut merupakan libur akhir pekan. Jarak yang hanya beberapa kilometer pun hanya ditempuh dalam beberapa menit. Namun, bis harus berhenti di beberapa titik yang menjadi lokasi penjemputan jamaah di depan masing-masing hotelnya.
Dari Misfalah, bus Shalawat berhenti di terminal Jiad, lalu berjalan kaki menuju kompleks Masjidil Haram. Terlihat gelombang jamaah yang sebagian besar berpakaian putih-putih pun berduyun-duyun menuju masjid. Sebelum masuk masjid, kami sempatkan diri untuk berwudhu karena agak susah bergerak jika sudah di dalam. Jika sudah masuk Masjidil Haram menjelang shalat Jumat berlangsung, jangan harap bisa keluar dengan gampang mengingat arus jamaah yang terus masuk. Bagi jamaah yang tidak dapat masuk, mereka harus shalat di pelataran.
Kami pun naik ke lantai 2 yang diperuntukkan bagi jamaah yang tidak menggunakan pakaian ihram. Mataf atau tempat thawaf kini hanya diperuntukkan bagi jamaah yang menggunakan pakaian ihram. Di lantai dua pun, banyak jamaah yang menunggu shalat Jumat sambil thawaf. Para askar berpakaian loreng mengatur jamaah supaya tidak sembarangan menduduki tempat. Jika lokasi tertentu sudah penuh, mereka berpindah sehingga lokasi tersebut dapat ditempati jamaah. Begitu seterusnya sampai akhirnya semuanya penuh. Semakin mendekati waktu shalat Jumat semakin sempit ruang untuk melakukan thawaf karena berbagai sisi telah dipenuhi jamaah.
Sekitar pukul 11.00 WAS, kami telah berhasil “mengkapling” lokasi shalat setelah beberapa kali diarahkan oleh askar untuk terus bergerak. Masih 1 jam 25 menit lagi untuk masuk waktu dhuhur. Sebagian jamaah yang sedang menunggu sedang takzim melafalkan doa-doanya, yang lainnya membaca Qur’an, tak sedikit pula yang hanya bermain-main dengan HP-nya. Melakukan swafoto, mengecek media sosial, atau apapun yang bisa mengusir kebosanan.
Di tengah-tengah waktu menunggu tersebut, terdapat petugas berseragam yang mengenakan ransel kotak yang berjalan di tengah-tengah jamaah. Ternyata, mereka membagikan air Zamzam kepada jamaah.
Di Masjidil Haram, Muslim dari seluruh dunia berkumpul. Masing-masing memiliki ciri tersendiri, bisa dilihat dari warna kulitnya, ada yang coklat, sawo matang, kuning, putih, atau hitam. Ada yang jangkung, sedang, ada pula yang pendek, Bisa dari bentuk penutup kepala atau pakaiannya yang mencerminkan budaya masing-masing negara. Kalau menggunakan kopiah, batik, dan sarung, kemungkinan besar adalah jamaah haji asal Indonesia. Sebagian juga terlihat dari identitas kebangsaan yang mereka kenakan, seperti nama negara atau bendera yang tercetak di baju atau kain yang mereka kenakan. Namun semuanya menyatu dalam identitas sebagai sesama saudara Muslim.
Lantai dua Masjidil Haram nyaman untuk beribadah. Lantainya terbuat dari marmer berwarna putih yang memberi rasa dingin ke kaki. Di bagian atas, terlihat banyak pipa-pipa yang menempel di bawah lantai 3. Deretan kipas angin yang terus berputar membuat panas di luar dan jamaah yang penuh menjadi tidak terasa. Ruangan tersebut merupakan area terbuka dengan lengkungan-lengkungan yang mengarah ke Ka’bah. Entah bagaimana sistem pendingin di masjid tersebut beroperasi. Namun jamaah dapat merasa nyaman, tanpa kegerahan ketika beribadah.
Pukul 11.54 WAS, adzan pertama berkumandang. Dengan segera, putaran thawaf berhenti. Jamaah yang sebelumnya bergerak segera mencari posisi shalat. Beberapa jamaah terlihat hanya bisa berdiri karena sudah terlalu padat. Adzan ini sesungguhnya merupakan pengingat agar jamaah bersiap menunaikan shalat Jumat. Sekalipun di Indonesia banyak masjid yang melaksanakan adzan dua kali. Namun, hal tersebut dilakukan setelah waktu masuk Dhuhur.
Begitu masuk waktu Dhuhur pukul 12.24 waktu Makkah, adzan dikumandangkan. Jamaah telah duduk dengan tertib. Khatib pun berkhutbah dalam bahasa Arab yang dalam pesannya menyampaikan soal keutamaan mencapai haji mabrur, tema yang sangat relevan dalam musim haji. Khutbah tidak berlangsung lama. Disampaikan dengan suara yang jelas dan dalam bahasa yang ringkas. Khatib memuji kepada Allah, membaca shalawat nabi, berwasiat tentang ketakwaan, membaca ayat suci Al-Qur’an, dan berdoa untuk kaum Muslimin.
Seluruh rangkaian khutbah sampai dengan shalat Jumat berlangsung sekitar 30 menit. Setelah itu, sebagian jamaah langsung shalat sunnah, ada sebagian yang masih berdzikir. Beberapa menit kemudian, dilakukan shalat jenazah, yang secara rutin diselenggarakan usai shalat lima waktu di Masjidil Haram.
Saat yang krusial adalah ketika terjadi bubaran shalat Jumat. Jika kedatangan jamaah terjadi secara berangsur-angsur. Sebaliknya, sebagian besar jamaah ingin pulang segera setelah menunaikan shalat Jum’at. Pintu keluar penuh sesak, sampai-sampai penjaga kewalahan mengatur jamaah yang ingin keluar. Eskalator dari lantai 2 ke lantai 1 padat. Jika tidak hati-hati rawan terjadi kecelakaan karena arus yang kuat dari belakang. Di sini pula, rombongan rawan terpisah karena tidak mungkin menunggu satu sama lain di tengah kepadatan dan gelombang jamaah yang menuju arah pulang.
Para jurnalis yang tergabung dalam MCH melaporkan, mereka membantu jamaah yang kakinya terluka ketika kaki seorang jamaah terantuk ujung eskalator, seorang suami melaporkan istrinya terpisah, sementara sandal istrinya dia yang membawanya. Seorang jamaah bertanya kepada kami arah pulang menuju Misfalah sementara kami mengarah ke terminal Syib Amir. Jamaah tersebut kami sarankan untuk kembali ke Masjidil Haram dan keluar di pintu yang mengarah ke terminal Jiad yang menjadi halte bus Shalawat ke Misfalah.
Ketua Seksi Transportasi Asep Subhana berulang kali menyampaikan agar jamaah datang lebih awal dan pulang menunggu sekitar satu jam dari Masjidil Haram saat kondisi mulai sepi. Hal ini untuk keamanan dan kenyamanan jamaah.
Pewarta: Achmad Mukafi Niam
Editor: Syakir NF