Sikapi Situasi Politik Jelang Pemilu 2024, Gusdurian Temukan 105 Dugaan Pelanggaran
Jumat, 9 Februari 2024 | 17:30 WIB
Alissa Wahid memimpin konferensi pers Jaringan Gusdurian di Griya Gus Dur, Bantul, Yogyakarta, Jumat (9/2/2024). (Foto: dok. Gusdurian)
Yogyakarta, NU Online
Jaringan Gusdurian mengeluarkan pernyataan sikap terkait situasi politik menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024 yang akan digelar lima hari lagi, yakni pada 14 Februari 2024.
Pernyataan sikap dikeluarkan lantaran selama masa kampanye pemilu 2024 hingga 8 Februari 2024, Gardu Pemilu Jaringan Gusdurian telah menemukan adanya 105 dugaan pelanggaran pemilu.
Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid melaporkan bahwa sebanyak 58 di antara dugaan pelanggaran tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara.
Alissa menyayangkan terjadinya sejumlah dugaan pelanggaran yang terjadi sebelum dan selama masa kampanye terbuka Pemilu 2024.
Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi itu antara lain soal netralitas pejabat dan aparat negara, penyalahgunaan sumber daya negara, kekerasan berbasis politik, penyebaran hoaks, misinformasi, serta disinformasi, serta perbuatan yang merendahkan martabat.
"Kondisi ini adalah ancaman terhadap integritas dan martabat Pemilu," ujar Alissa Wahid dalam konferensi pers di Griya Gus Dur, Bantul, DI Yogyakarta, pada Jumat (9/2/2024).
Karena itu, Jaringan Gusdurian bertekad untuk turut mengoreksi hal ini dan mengawal proses politik elektoral agar sejalan dengan nilai perjuangan Gus Dur yang meletakkan kemanusiaan di atas kepentingan politik.
"Untuk memastikan dugaan pelanggaran tidak lagi terjadi, Gusdurian menuntut para penyelenggara negara dari pusat hingga daerah, khususnya Presiden sebagai kepala negara, para penegak hukum, TNI-Polri, dan kejaksaan, untuk tetap menjaga integritas, kejujuran, dan sikap netral agar proses politik pemilu dapat berlangsung dengan demokratis, jujur, adil, dan bermartabat," jelas Alissa.
"Penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu adalah penanda akan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan setelah pemilu," imbuhnya.
Alissa mengajak masyarakat untuk menggunakan hak politiknya dengan memilih sesuai dengan hati nurani atas pertimbangan rekam jejak, bukan karena intimidasi, paksaan, maupun iming-iming berupa materi.
Alissa juga meminta para penyelenggara pemilu untuk menjaga integritas, keadilan, dan profesionalisme selama penyelenggaraan pemilu.
Ia menyinggung pelanggaran etika, sebagaimana telah diputuskan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak boleh terulang.
"Karena penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika hanya akan merusak integritas pemilu dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara, yang berujung pada kepercayaan publik terhadap legitimasi hasil pemilu," kata Alissa.
Ajak para tokoh agama
Selain itu, Alissa mengajak para tokoh agama untuk tetap menjadi teladan moral serta turut mengawal penyelenggaraan pemilu agar tetap berpijak pada moralitas, etika, nilai- nilai kejujuran, dan kemanusiaan.
Pemuka agama juga hendaknya menjalankan peran untuk membimbing umat agar ikut menjaga pemilu dalam berbagai bentuk, mulai dari menghindari ujaran kebencian hingga terlibat pengawasan pemilu di lingkungan masing-masing.
"Kami mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama-sama mengawal dan memastikan bahwa pemilu 2024 berlangsung secara adil, bersih, jujur, dan bermartabat, sesuai dengan semangat demokrasi dan konstitusi," ajaknya.
"Kami mengimbau semua pihak untuk menjaga situasi damai dan mencegah segala potensi konflik kekerasan," imbuh Alissa.