Nasional

Siti Badi’atul Firdos, Penyuluh Agama Langganan Juara MTQ yang Bertekad Berantas Buta Huruf Al-Qur’an

Senin, 20 Oktober 2025 | 16:00 WIB

Siti Badi’atul Firdos, Penyuluh Agama Langganan Juara MTQ yang Bertekad Berantas Buta Huruf Al-Qur’an

Firdos saat mengikuti seleksi final Penyuluh Agama PAI Award Provinsi Jawa Tengah, di Semarang, pada 2024. (Foto: dok. pribadi/Firdos)

Kebumen, NU Online

Berasal dari keluarga petani, tak menghalangi tekad Siti Badi’atul Firdos (41), Penyuluh Agama Kebumen, Jawa Tengah, untuk meraih cita-cita.


Sejak dalam kandungan, sang ibu, Shofiyah, telah berdoa agar kelak memiliki anak yang mampu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Setelah tujuh tahun menanti kehadiran buah hati, Shofiyah pun bernazar: jika dikaruniai anak, ia ingin anaknya menjadi seorang qariah.


Nazar itu kemudian dikabulkan Allah. Seorang bayi perempuan lahir dari rahim Shofiyah, pada 1984, dan diberi nama Siti Badi’atul Firdos.

"Makanya begitu lahir saya dikasih nama Siti Badi'atul Firdaus, sama persis dengan teman ibu di pesantren yang menjadi qariah pada saat itu,” tuturnya kepada NU Online, Ahad (19/10/2025).


Diperkenalkan dengan dunia tilawah sejak dini

Firdos mulai mengenal dunia qiraah atau tilawah Al-Qur’an sejak usia tiga tahun. Ibunya sendiri yang pertama kali mengajarkan tilawah di sela-sela kesibukannya sebagai petani dan penjahit.


Saat duduk di kelas 1 SD, ia belajar mengaji kepada Hj Umidah. Kemudian, sejak kelas 2 SD hingga kelas 1 SMP atau sebelum masuk pesantren, ia belajar kepada Hj Najati setiap pekan. Setelah itu, ia memperdalam ilmu tilawah kepada para qari dan qariah tingkat nasional dan internasional, yakni Ustadz Adili Anshari, K Musyafa, dan Hj Zainatun, yang terus mendampinginya hingga ke ajang MTQ Nasional.


Sejak usia taman kanak-kanak (TK), bakat Firdos sudah tampak. Ia meraih juara 2 MTQ tingkat Kabupaten Kebumen pada 1991.


“Rupanya ini barangkali buah dari nazar ibu saya, sehingga sejak kelas TK saya mendapat juara MTQ dan saya sangat merasakan keberkahan Al-Qur'an,” ujarnya.


“Hingga tahun 1993 berhasil juara 1 provinsi. Tahun 1994 mendapat kesempatan ikut MTQ Nasional mewakili Jateng di Pekanbaru, Riau, dan terus mengikuti kegiatan MTQ hingga sekarang di tahun 2025,” lanjutnya.


Langganan Juara MTQ

Perempuan alumni SMPN 1 Kebumen ini telah menorehkan banyak prestasi di bidang tilawah, baik tingkat daerah maupun nasional. Pada 1996, ia meraih juara terbaik pertama dalam ajang Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) di Surabaya.


Prestasinya berlanjut. Pada 1999, ia meraih juara 1 di Jakarta, lalu pada 2012 juara 3 di Kendari, dan pada 2013 juara 1 di Ternate. Pada tahun yang sama, ia juga mendapat juara harapan 2 putri dalam Seleksi Tilawatil Qur’an Nasional (STQN) di Bangka Belitung.


Selain itu, ia pernah menjadi qariah dalam acara Nuzulul Qur’an di Istana Negara pada 2013, dan mewakili Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta dalam Haflah MTQ di Malaysia.


Dari Guru ke Penyuluh Agama

Sebelum menjadi penyuluh, Firdos sempat mengajar di SMP VIP Al Huda Kebumen sejak 2009. Namun karena sering menjadi pendamping MTQ dan harus meninggalkan kegiatan mengajar, ia akhirnya memutuskan berhenti dari profesi guru.


Atas saran suami, ia kemudian beralih menjadi penyuluh agama agar memiliki waktu yang lebih fleksibel. Kini, ia berstatus sebagai Penyuluh Agama Islam Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Kegiatan silaturahmi instruktur majelis taklim binaan Firdos, kepada guru-guru. (Foto: dok. pribadi/Firdos).

Menurutnya, profesi penyuluh sangat relevan dengan kemampuannya dalam bidang tilawah. Tugas penyuluh erat kaitannya dengan pengajaran, pembinaan, dan penanaman nilai-nilai Al-Qur’an.


“Pada waktu itu juga, menjadi penyuluh tidak terlalu banyak memakan waktu, karena tidak perlu berkantor, tidak ada piket, dan penyerahan laporan hanya tiap bulan sekali,” katanya.

 

Tekad memberantas buta huruf Al-Qur’an

Sebagai penyuluh, Firdos memiliki program utama yakni pemberantasan buta huruf Al-Qur’an. Ia mendirikan beberapa majelis taklim tilawah, salah satunya di dekat rumahnya yang berdiri sejak 2015.


“Kami lakukan di beberapa majelis taklim tilawah sebagai majelis binaan. Satu majelis taklim yang terdekat di samping rumah adalah majelis taklim tilawah yang berdiri sejak tahun 2015 dengan kegiatan seminggu 4 kali, mulai 18.30-20.00 WIB. Saat ini, santri terdaftar berjumlah 180 dengan usia mulai anak-anak, remaja hingga dewasa,” ujarnya.


“Kegiatan penyuluhan dan majelis taklim ini dibantu oleh para qari qariah junior yang kami sebut instruktur, yang saat ini berjumlah 27 orang,” lanjutnya.

Firdos (baju biru di tengah paling depan) bersama murid-muridnya dalam majelis taklim binaannya, sedang berlatih pernafasan di pantai. (Foto: dok. pribadi/Firdos)

Dalam menjalankan program tersebut, ia menghadapi beberapa tantangan. Pertama, persoalan bisyarah (honor) bagi para instruktur. Ia mengatasinya dengan membentuk kepengurusan majelis taklim agar masalah keuangan dan teknis bisa dibahas melalui musyawarah.


Kedua, kedisiplinan instruktur yang beragam karena latar belakang mereka berbeda, mulai dari siswa SD hingga mahasiswa dan orang dewasa.


Ketiga, tantangan dari peserta yang perlu didorong agar lebih percaya diri dan tekun berlatih.


“Alhamdulillah dari sekian santri yang mengikuti bimbingan tilawah, alhamdulillah yang dulunya mulai ngaji Iqra, alhamdulillah tambah semangat terus. Dan tidak sedikit yang sudah berprestasi pada kegiatan MTQ, baik tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional,” katanya.


Menjadi Penyuluh Teladan

Lulusan Pascasarjana IIQ Jakarta ini juga pernah meraih predikat Penyuluh Teladan Tingkat Jawa Tengah Tahun 2024 dan 2025 dalam bidang Peningkatan Literasi Al-Qur’an. Ia mengaku terinspirasi dari penyuluh senior yang lebih dulu berprestasi.


Ia berharap, pengalaman mengikuti ajang tersebut bisa memperkaya ilmunya dalam mengembangkan metode pembelajaran tilawah.


“Kebetulan prestasi ini kami capai sejak kecil sehingga ketika sudah menjadi penyuluh, mengalir saja. Alhamdulillah semua memberikan support, baik dari teman dan atasan juga keluarga,” ujarnya.


“Posisi saat ini kami sebagai pembina dan mendampingi santri yang alhamdulillah mendapat amanah mewakili Jateng. Karena kebetulan ada 3 santri yang ikut mewakili MTQN tahun ini di Sulawesi Tenggara yaitu cabang tilawah anak-anak putra, tahfidz 1 juz tilawah putri, dan tahfidz 10 juz putri,” tambahnya.

Firdos saat mengisi pengajian pasaran tilawah di Majelis Taklim Tilawah Al-Badar pada Ramadhan 1446 H. (Foto: dok. pribadi/Firdos)

Didikan keras dari orang tua

Di balik deretan prestasi itu, ada peran besar sang ibu. Firdos mengaku ibunya sangat disiplin dan tegas dalam mendidik anak-anaknya. Saat kecil, ia tidak diperbolehkan menonton layar tancap atau pertunjukan kuda lumping di desa, meski teman-temannya menonton.


Bagi Firdos, sang ibu punya cara unik memotivasi anak-anaknya yakni memberikan hadiah kecil bila mereka rajin berlatih tilawah.


“Hingga saat ini beliau selalu menyampaikan, membacakan Fatihah untuk anak-anaknya dan shalawat minimal 1000 kali (dalam) satu hari untuk anak-anaknya,” kisah Firdos.


Prinsip hidup dan pesan untuk anak muda

Firdos berpegang pada dua prinsip hidup: man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil) dan khairunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama).


Tokoh yang paling ia jadikan panutan adalah ibunya sendiri, disusul para guru tilawah yaitu Hj Maria Ulfah, Ustadz Ali, KH Wahib Mahfud, K Sonhaji, dan Hj Najati.

Haflah Akhirussanah Majelis Taklim Al-Badar, binaan Firdos, mengundang qari qariah internasional. (Foto: dok. pribadi/Firdos)

Alumni Pesantren Al Huda Jetis, Kutosari, Kebumen, ini menegaskan bahwa kesalehan harus dimiliki siapa pun, dalam profesi apa pun. Menurutnya, kesalehan berawal dari keluarga, terutama dari peran seorang ibu.


“Tentu itu yang akan menghantar negara ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” terangnya.


Bagi Firdos, generasi muda harus menjaga diri dengan mengamalkan nilai-nilai agama, dimulai dari keluarga. Ia juga mendorong anak muda untuk menjaga shalat lima waktu, terutama berjamaah, serta rutin membaca Al-Qur’an.


“Aktifkan keagamaan di lingkungan masyarakat. Insyaallah ketika tiap insan mampu menjaga nilai agama, maka masyarakat akan damai dan tenteram,” harapnya.