Soroti Regulasi Tembakau, Lakpesdam PBNU Nilai Pemerintah Hambat Pergerakan Petani
Senin, 26 Juli 2021 | 12:00 WIB
Jakarta, NU Online
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU telah melakukan riset di Pamekasan, Rembang dan Lombok terkait dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012. Hasilnya, ada kekhawatiran di masyarakat Industri Hasil Tembakau (IHT) karena PP tersebut membatasi gerak petani daerah yang mayoritas warga Nadliyin untuk tumbuh dan berkembang.
Demikian disampaikan Peneliti Lakpesdam PBNU, Hifdzil Alim pada kegiatan diseminasi “Kebijakan Pertembakauan dan Dampaknya terhadap Petani dan Industri Hasil Tembakau (IHT), Implementasi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan” yang dilaksanakan di Jakarta, Senin (26/7).
Ia menjelaskan, tembakau sudah ada sejak lama di Indonesia kemudian ditekan konsumsinya dengan berbagai kebijakan yang berlapis. Hal Ini yang mendasari Lakpesdam untuk melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan-kebijakan di bidang pertembakauan dan dampaknya bagi petani tembakau di daerah.
“Tembakau menghidupi masyarakat dan menyumbangkan pendapatan yang signifikan bagi negara dari sisi cukai, penyerapan tenaga kerja, serta menjadi elemen penting untuk menggerakkan perekonomian dan pembangunan di daerah. Kami mendapati fakta bahwa belum ada komoditas ataupun industri lain yang dapat setara kontribusinya selain tembakau,” Bebernya.
Lebih lanjut Hifdzil mengungkapkan, implementasi PP 109 Tahun 2012 terbukti sangat dirasakan dampaknya oleh para petani tembakau dan IHT, karena banyaknya pembatasan-pembatasan dalam produksi, pengolahan, pemasaran, dan konsumsi produk tembakau. Tidak hanya itu, timbulnya ketidakpastian usaha karena lemahnya akses informasi bagi para petani.
Selain petani, dampak juga dirasakan oleh IHT seperti yang terjadi di Pamekasan, ada tren penurunan yang signifikan terhadap IHT, saat ini hanya ada 45 perusahaan padahal pada tahun 2012 terdapat 272 perusahaan.
Selain itu, kata dia, kondisi IHT di Rembang yang merupakan salah satu daerah produksi tembakau terbanyak di Jawa Tengah, dengan maraknya kampanye anti rokok, berbagai kebijakan dalam sektor IHT mulai dimatisurikan secara perlahan, seperti minimnya alokasi dana terhadap peningkatan kualitas produksi dalam IHT.
Sementara di Lombok, NTB, instrumen hukum PP Nomor 109 Tahun 2012 malah mendorong upaya masif untuk membatasi tingkat produksi lokal hingga kampanye anti rokok. Di lain sisi, peran Pemerintah Daerah dan Pusat terhadap IHT di Lombok semakin minim. Hal ini terlihat dari abainya intervensi Pemerintah pada peningkatan IHT melalui pola kemitraan antara petani dan pelaku industri.
Menurut Hifdzil, kebijakan yang bisa menguatkan dan menyejahterakan petani tembakau saat ini adalah kemitraan yang setara, adil, dan saling menguntungkan antara petani tembakau dengan industri hasil tembakau. Dalam regulasi itu juga seharusnya diatur agar Pemerintah menjamin petani untuk memperoleh asuransi pertanian. Asuransi pertanian ini sangat penting agar petani dapat bekerja dengan tenang, nyaman, dan optimis.
“Dari kalangan industri, yang perlu dilibatkan secara aktif dan menjadi komponen penting tidak hanya industri hasil tembakau (IHT) yang berskala raksasa, tetapi justru yang paling penting adalah IHT berskala UMKM,” ujar Hifdzil.
Ditegaskankan, Dinas di daerah tidak memahami dan tidak mendapatkan sosialisasi tentang PP 109/2012. Hal ini menjadi krusial terlebih saat ini dorongan revisi regulasi menjadi polemik di tengah situasi ekonomi yang memprihatinkan. Dorongan revisi ini hanya hasil politisasi tanpa mempertimbangkan capaian, dampak dan implementasi.
Selain itu, sambung Hifdzil, usulan tersebut tidak dipertimbangkan secara komprehensif karena evaluasi menyeluruh. Dampak kebijakan IHT yang ada saat ini terhadap mata rantai IHT belum ada, hanya sisi kesehatan yang menjadi satu-satunya pertimbangan.
Ditambahkannya, kebijakan Pemerintah merupakan pengaturan yang multi dimensi karena dampaknya terhadap kehidupan masyarakat dan bernegara akan luas, maka tidak bisa hanya mempertimbangkan satu aspek saja.
Sejauh ini, kata Hifdzil, edukasi dan sosialisasi kepada Petani tidak pernah dilakukan padahal dapat dianggarkan melalui alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Perangkat hukum dan infrastruktur belum mumpuni dan menjadi potensi intervensi birokrasi dan penyelenggaraan negara. Birokrasi dan instrumen lemah tidak memberikan makna terhadap revisi sekalipun itu mau dilakukan.
“Kebijakan hanya lembaran kertas tanpa pemahaman dan implementasi yang baik dan sesuai” pungkasnya.
Editor: Aiz Luthfi