Survei: Jumlah Besar Nahdliyin Punya Bobot Politik Strategis
Jumat, 17 Desember 2021 | 20:15 WIB
Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda AR menjelaskan soal posisi strategis Nahdlatul Ulama (NU) dalam konteks politik nasional saat ini. Ia juga menyebut bahwa NU adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, yang punya pengaruh besar.
“Jumlah besar warga Nahdliyin memiliki bobot politik strategis, sehingga NU kadangkala sangat seksi,” kata Hanta dalam webinar yang digelar Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) bertajuk Arah NU 100 Tahun Kedua: Kemandirian dan Teknokrasi untuk Peradaban Dunia, Jumat (17/12/2021).
Ia menyebutkan beberapa peran dan posisi penting NU di dalam konteks politik nasional. Menurutnya, NU adalah pilar pemersatu bangsa. Sebuah organisasi besar yang punya komitmen dan kontribusi nyata dalam menjaga kedaulatan NKRI.
“Kalau bicara persatuan, siapa pun yang memimpin republik ini, pasti melibatkan NU sebagai organisasi untuk menjaga kohesivitas bangsa. NU juga adalah mitra pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan berbangsa dan bernegara,” ujar Hanta.
Dari sisi ideologis, NU mampu menjadi pengendali arus utama pemikiran Islam di Indonesia dengan pandangan yang moderat. Posisi strategis NU berada pada basis kulturalnya seperti pesantren-pesantren serta para kiai di kampung yang kerap menjadi rujukan nilai dan pola interaksi di masyarakat.
“Kiai-kiai di kampung bahkan lebih kuat pengaruhnya dari aparat negara. Lebih didengar daripada lurah. Apalagi dibandingkan dengan ketua partai di daerah masing-masing. Gerakan sosial-politik kalau digerakkan oleh NU kultural yang berbasis di kampung itu sangat kuat sekali,” ujarnya.
Survei Poltracking Indonesia pada Oktober 2021 menyebutkan bahwa basis massa NU sangat besar. Terdapat 41,9 persen responden secara terbuka mengaku terafiliasi atau merasa sebagai Nahdliyin secara kultural.
“Artinya ada 80-90 juta pemilih Indonesia merasa terafiliasi dengan NU dari DPT (data pemilih tetap) yang kurang lebih sebanyak 200 juta. Itulah yang menyebabkan daya tarik NU sangat seksi,” katanya.
Kemudian, dukungan NU secara kultural berkontribusi besar untuk mendongkrak suara. Secara kualitatif, para calon pemimpin di kontestasi politik elektoral akan merasa sangat penting mendapat dukungan dari NU.
Ia memprediksi, siapa pun yang akan maju sebagai presiden Indonesia pada 2024 mendatang, pasti akan mulai mendekati NU. Menurut Hanta, hal itu lantaran NU memiliki suara sebanyak 41,9 persen warga yang merasa terafiliasi dengan NU.
Selain itu, patronasi kiai dalam mengendalikan massa juga sangat mempengaruhi perjalanan politik nasional. Kiai kerap dijadikan sebagai rujukan masyarakat dalam menentukan pilihan. Para kandidat juga pasti akan mendekati kiai-kiai NU, sebelum bertarung di kontestasi politik.
“Lihat saja, kalau ingin menjadi gubernur atau presiden, itu pasti sowan ke kiai-kiai kultural maupun struktural NU. Itu saya menunjukkan bahwa dimensi-dimensi ini sangat menentukan, sehingga menjadi seksi,” katanya.
Kemewahan dan kebesaran itu, lanjut Hanta, membuat siapa pun tergiur untuk mendekati NU. Baik dari eksternal maupun internal NU sendiri akan merasa tertarik untuk memanfaatkan kebesaran NU itu.
“Tinggal pemanfaatannya itu untuk kemaslahatan umat, NU, kelompok, atau personal saja. itu saja sebenarnya pemanfaatannya kira-kira,” katanya.
Meski begitu, Hanta menjelaskan bahwa NU sudah secara tegas kembali ke khittah 1926 pada Muktamar di Situbondo pada 1984. Salah satunya tidak lagi menjadi partai politik dan tidak terafiliasi dengan kepentingan politik mana pun.
“NU sebagai organisasi (struktural) tidak terafiliasi dengan kepentingan politik, tetapi berpolitik adalah hak personal setiap warga (kultural). Hanya ketika yang berpolitik merupakan elite struktural NU akan dipersepsikan sebagai representasi NU sebagai organisasi,” katanya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad