Jakarta, NU Online
Pengasuh Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, KH Reza Ahmad Zahid (Gus Reza), mengungkap tiga kunci agar terhindar dari infodemik, berita bohong (hoaks), yaitu dengan tiga T: tabayyun, tawaqquf dan tajannubudzdzan.
Hal itu disampaikan Gus Reza dalam Ngaji Virtual Milenial dengan tema Menyikapi Carut Marut Infodemik saat Pandemi di Fanspage Facebook NU Online Jatim, Jumat (30/7) malam. Dipandu jurnalis Risma Savhira, alumnus al-Ahgaff University Hadramaut Yaman tersebut menguraikan lebih lanjut ketiganya.
Pertama, tabayyun. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 6 yang terjemahnya: 'Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.'
Gus Reza menjelaskan, ketika Nabi Muhammad saw mendapat kabar bahwa Bani Musthaliq enggan membayar zakat dan tidak menaati perintah hingga beliau hendak memerangi mereka, turunlah ayat ini.
Rasulullah diperintah Allah SWT untuk bertabayun tentang berita yang beliau terima. Beliau lalu mengutus Khalid kepada mereka. Ternyata Khalid tiada menjumpai mereka melainkan hanya ketaatan dan kebaikan belaka, lalu ia laporkan hal tersebut kepada Rasulullah saw.
“Dalam tafsiran ayat ini, Ibnu ‘Asyur mengatakan, ‘setiap kali kita melakukan syahadah atau riwayah, kesaksian ataupun periwayatan, maka sudah menjadi satu keharusan, menerima segala kabar, menerima segala berita, harus di-tabayyun terlebih dahulu,” jelas wakil ketua PWNU Jawa Timur ini mengajak bersikap kritis.
Kedua, tawaqquf. Yakni sikap atau perbuatan untuk menahan diri dan tidak langsung mempercayai kabar yang kita terima. Tidak langsung kemudian digeneralisasi dari berita yang kita temukan.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surat Al-Isra’ ayat 36 yang terjemahnya, 'Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.'
Ketika kita mengatakan sesuatu, lanjut dia, maka yakinilah terlebih dahulu bahwa sesuatu yang akan kita ucapkan itu betul-betul diketahui. Jangan mengatakan sesuatu yang masih belum jelas kebenaran dan duduk permasalahannya.
“Diingatkan, bahwasannya semua yang ada di dalam tubuh kita ini: pendengaran, pengelihatan dan kaki kita, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT,” tutur Gus Reza.
Di dalam satu maqalah-nya Imam al-Ghazali mengatakan, lau sakata man laa yadri laqallal khilaf baynal khalqi. (Ketika orang-orang yang tidak tahu atau tidak memiliki ilmu itu diam saja, tidak banyak bicara, dan berkomentar, niscaya pertikaian dan perbedaan pendapat di antara manusia akan terminimalisasi).
“Karut-marut permasalahan yang kita rasakan saat ini, termasuk faktornya adalah mereka orang-orang yang tidak tahu tentang duduk permasalahan, ikut menge-share, mereka ikut berkomentar. Sehingga mereka menjadi komentator-komentator yang zonk tentang pengetahuan. Na’udzubillahi min dzalik,” ujar cucu KH Mahrus Aly ini.
Ketiga, tajannubudzdzan (menjauhi asumsi atau prasangka). Allah swt berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 12, yang terjemahnya: 'Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.'
Bahaya fitnah
Suudzan, berburuk sangka, lebih-lebih sampai menyebar ghibah dan fitnah kepada orang lain, bahayanya tidak hanya sampai pada setelah dia menyampaikan kata-kata tersebut. Tapi akan berlanjut dan berlanjut – entah itu sampai kapan – seperti debu bertebangan.
Ketika kita memberikan informasi yang tidak sama dengan realita, informasi tersebut ditangkap oleh satu orang. Orang tersebut kemudian menyampaikan kepada orang lain. Orang lain menyampaikan kepada khalayak, dan begitu seterusnya. Maka informasi yang dia sampaikan ini akan mendatangkan bahaya bagi banyak orang.
Lebih lanjut, Gus Reza bercerita. Suatu ketika, ada ulama yang difitnah oleh seseorang tentang apa yang dia lakukan ini melanggar syariat agama. Kemudian berita itu disebarkan kepada khalayak. Dan pada suatu tempo kebenaran terbuka: ternyata orang yang difitnah tidak melakukan hal tersebut. Kemudian orang yang memfitnah meminta maaf atas apa yang dia lakukan.
Ulama yang kena fitnah pun memaafkan. Tapi kemudian dia bertanya satu hal kepada orang yang menyebar fitnah: aku memaafkan, tapi bagaimana dengan apa yang terjadi, berita tersebut diterima oleh khalayak dan terus menerus bertaburan seperti halnya debu, dan itu tidak akan bisa kamu hentikan. Apakah kamu bisa menghentikan tebaran debu? Tentu tidak bisa.
“Maka dari itu, al-fitnatu asyaddu minal qatl, fitnah itu lebih bahaya dibanding pembunuhan. Orang dibunuh, selesai ketika selesai pembunuhan. Tapi fitnah akan selalu terus bertebaran,” tandas salah satu pendiri PCI-NU Yaman ini.
Gus Reza juga membeberkan, bahwa saat ini track record dan jejak digital itu terus menerus akan tersimpan. Apa yang kita lakukan terus-menerus akan tersimpan hingga satu atau dua generasi, masih akan tetap tahu apa yang dilakukan oleh generasi pendahulunya. Oleh karena itu, ia berpesan agar senantiasa bijak dalam bermedia sosial.
“Itu tentang bagaimana kita menyikapi berita-berita hoaks yang kini sedang marak. Entah kebenarannya itu bagaimana, terpenting dari diri kita sendiri menerapkan tiga T ketika menyikapi berita hoaks,” pungkasnya.
Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Musthofa Asrori