Solo, NU Online
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu tidak dapat dipisahkan dari adanya masyarakat yang majemuk. Mulai dari suku, ras, agama, budaya, hingga pemikiran masyarakat Indonesia memiliki corak yang berwarna-warni.
Perbedaan ini tentunya mesti dipahami dengan baik oleh sesama anak bangsa. Agar keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa ini senantiasa terjaga, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah mengajarkan kita untuk asyik saja dalam memahami perbedaan.
Hal tersebut disampaikan Rais Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Britania Raya Didiek Sri Wiyono pada acara diskusi daring bertajuk ‘Refleksi 11 tahun haul Gus Dur: Quo Vadis Pemikiran Sang Guru Bangsa untuk Negeri’ yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid UNS Surakarta, Jawa Tengah bersama Gusdurian Solo, Ahad (24/1) malam.
“Asyik sajalah menerima perbedaan. Gus Dur itu jembar (luas) memahami semuanya,” ujar Didiek.
Didiek menjelaskan, Gus Dur sering kali memaklumi adanya perbedaan dengan sudut pandang toleransi. Hal inilah yang kemudian membuat Gus Dur sukses menanamkan cinta di hati para pecintanya.
Gus Dur lanjutnya, dikenal dengan Bapak Kemanusiaan, juga Bapak Pluralisme karena keberhasilannya memperhatikan suku-suku yang ada di Indonesia seperti Suku Papua dan juga Etnis Tionghoa yang kemudian dilindungi dan diakui keberadaannya.
“Sayangnya setelah 11 tahun kepergian Gus Dur ke pangkuan Ilahi. Kita melihat adanya potensi sulit membangun toleransi di atas perbedaan. Khususnya perbedaan pemikiran di antara kaum muslim Indonesia sebagai kaum mayoritas di negeri ini. Padahal konteks toleransi di antara sesama umat muslim perlu dipahami dan dijalankan secara baik demi terciptanya kehidupan rakyat Indonesia yang harmoni dalam naungan hubungan persaudaraan,” ungkap Didiek yang juga Dosen FMIPA UNS itu.
Lebih lanjut diterangkan, toleransi dapat kokoh terbangun dengan 3 hal. Pertama adalah kejujuran, di mana setiap warga Indonesia mesti jujur dengan adanya realita perbedaan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan juga beragama.
"Kedua, ko-eksistensi. Membangun toleransi bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmoni. Tentunya hal ini perlu diiringi dengan adanya pengakuan masing-masing individu terhadap keberadaan individu yang lain," terangnya.
“Dengan adanya pengakuan ini, maka keselarasan dapat tumbuh dalam kehidupan masyarakat,” sambungnya.
Kemudian yang ketiga adalah ketepatan sikap yang ditunjukkan baik oleh kaum mayoritas maupun minoritas di Indonesia. Hal ini ditafsirkan bahwa kaum mayoritas tidak boleh sewenang-wenang berkehendak, melainkan perlu bijak dalam menaungi kehidupan sesama anak bangsa.
"Sebaliknya, kaum minoritas juga perlu hidup dengan tau diri dan tidak senantiasa membuat kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat," tegasnya.
Selain 3 hal tersebut, Didiek juga menjelaskan tentang adanya batas toleransi dalam memahami perbedaan. “Hukum adalah batasan dari toleransi. Maka jika melanggar hukum, ya perlu ditindak secara tegas melalui mekanisme hukum yang ada. Itulah juga yang diajarkan oleh Gus Dur,” pungkasnya.
Selain Didiek, turut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut Wakil Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah yang juga Pengasuh Pesantren Al-Muayyad Windan Sukoharjo KHM Dian Nafi’.
Menurut Kiai Dian, bangsa Indonesia, yang notabene memiliki masyarakat yang majemuk, membutuhkan toleransi untuk memudahkan mencari titik temu. “Jika sudah ada titik temu, maka menjadi kesepakatan luhur yang harus dijaga dan dihormati,” kata Kiai Dian.
Kepada NU Online, Selasa (26/1) Kiai Dian menyampaikan, titik temu bangsa Indonesia, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. “Kemudian titik temu masyarakat yang toleran, yakni sikap guyub, rukun, tata, titi, tentrem, kerta, dan raharja,” tuturnya.
Untuk itulah, toleransi yang menjadi bagian penting dalam kehidupan bangsa ini harus terus digerakkan dengan harmonis.
Kontributor: Aldi Rizki, Ajie Najmuddin
Editor: Abdul Muiz