Jakarta, NU Online
Bullying di ruang digital atau cyberbullying terus menghantui anak-anak. Seorang siswi kelas 3 SD di Bekasi bahkan sampai menolak sekolah karena menjadi bulan-bulanan di grup WhatsApp kelasnya. Seberapa jauh PP Tunas yang diteken presiden menjawab persoalan kompleks yang masih menjadi tanda tanya, terutama jika pola asuh dan budaya digital di rumah belum berubah."
A, siswi kelas 3 SD Negeri di wilayah Bekasi merengek kepada ibunya agar diizinkan tidak masuk sekolah. Padahal pagi itu sekolah tengah mengadakan sumatif tengah semester (STS) atau kegiatan penilaian berbasis Kurikulum Merdeka yang dilakukan di pertengahan semester untuk mengukur hasil belajar siswa selama setengah semester.
"Aku nggak mau sekolah, Bu,” katanya sambil terisak.
Tak seperti biasanya, A ngambek. Sang Ibu (Dian) bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi sehingga sikap putrinya berubah. Mulanya A diam membisu ketika sang ibu membujuknya, seketika tangisnya pecah.
Malam sebelumnya, di grup WhatsApp kelas yang berisi anak-anak ia tengah menjadi bulan-bulanan teman sebayanya. Kata-kata kasar dan hewan muncul di layar. Nama putrinya disebut. Pesan-pesan singkat itu menancap dalam, lebih tajam dari ejekan di dunia nyata.
Dian baru paham musabab putrinya menolak sekolah meskipun telah dibujuk. Melihat putrinya diperlakukan demikian, Dian melaporkan kepada wali kelas. Wali kelas kemudian mencari duduk persoalan. Satu per satu anak-anak yang masuk grup dipanggil.
Mendengar persoalan tersebut, Saroh, wali kelas 3 mengimbau orang tua siswa lebih memantau aktivitas anak ketika bermain ponsel.
"Kepada wali murid, tolong awasi anak-anak ketika bermain hp, periksa isi chatnya. Saya berharap kejadian ini tidak terulang lagi," kata Saroh dalam imbauannya.
Ia juga meminta orang tua untuk tidak memberikan ponsel kepada siswa. "Semoga tidak terulang lagi dan tidak ada grup WA anak-anak," pinta Saroh.
Saroh menceritakan bahwa anak didiknya kerap berbicara kasar dan tidak sopan namun ia tak pernah bosan menegur siswanya. "Saya sebagai wali kelas tidak pernah bosan dan selalu menasehati anak-anak tentang hal ini," ujarnya.
Umroh, salah satu wali murid mengaku miris mendengar pengakuan korban bullying. Sebagai orang tua ia memiliki prinsip kuat agar anak-anaknya tidak disodorkan ponsel mengingat masih di bawah usia.
"Ini pelajaran untuk kita saya khususnya sebagai orang tua supaya lebih bisa effort lagi memberi perhatian ke anak-anak," kata Umroh.
Dia berkata, "Jangan sampai anak-anak menjadi korban bullying apalagi sampai merasuk ke dalam pikirannya, sampai sudah tidak mau sekolah seperti ini, ini sudah ada traumatik."
Situasi ini, kata Umroh, harus menjadi pengawasan bersama baik oleh guru, pihak sekolah, orang tua serta negara.
"Kalau saya akan sangat mendukung seandainya anak-anak berperilaku di luar semestinya ibu guru menegur atau bahkan diadakan sangsi untuk mendidik agar anak tidak bersikap salah karena sebagai orang tua kita juga tidak boleh bersikap timpang," jelasnya.
Perundungan Siber Jadi Momok
Cyberbullying menjadi momok yang terus berulang. Media yang seharusnya memudahkan komunikasi justru kerap berubah menjadi ruang suram yang mampu menghancurkan kondisi mental.
Kasus A hanyalah satu contoh kecil. Data global menunjukkan masalah ini jauh lebih luas. Badan Kesehatan Dunia atau WHO mengungkap pada 2024 sedikitnya 1 dari 6 anak mengalami perundungan di dunia. Sementara Unicef mencatat sepertiga anak muda dari 32 negara melaporkan mengalami perundungan di dunia maya atau cyberbullying.
Hasil penelitian Center for Digital Society (CfDS) per Agustus 2021 berjudul Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia yang dilakukan terhadap anak (pelajar) usia 13-18 tahun, menyatakan bahwa 1.895 siswa (45,35 persen) mengaku menjadi korban cyberbullying. Sedangkan 1.182 siswa (38,41 persen) merupakan pelaku. Platform yang sering digunakan untuk kasus cyberbullying, antara lain WhatsApp, Instagram, dan Facebook.
Psikolog anak Bianglala Andriadewi menilai persoalannya dimulai dari pola asuh. Gadget dan media sosial tidak dibutuhkan oleh anak-anak, bahkan berbahaya dan berakibat pada kurangnya interaksi antara anak dan orang tua atau temannya.
"Anak justru butuh permainan-permainan yang fokus ke motorik halusnya mereka seperti aktivitas mereka main keluar rumah, terkena matahari. Itu yang malah mereka butuhkan,”katanya dihubungi terpisah.
Bianglala menyebut sebagai orang tua, mestinya dari awal tidak membiasakan menggunakan gadget meskipun ada yang mengatakan anak-anak sekarang tidak bisa dihindarkan dari gadget.
Peran Krusial Orang Tua
Senada, Psikolog anak Alissa Qotrunnada Wahid menjelaskan bahwa peran orang tua sangat penting dalam mengawasi perilaku buah hati saat menggunakan perangkat digital.
"Yang paling penting adalah orang tua menyadari bahwa panglima dari proses tumbuh kembang anak itu adalah orang tua,”jelasnya.
Jika hal itu disadari sejak awal oleh orang tua maka proses perkembangan anak tidak lagi menjadi kekhawatiran bagi orang tua. Karena, bagi Alissa, era digital menawarkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan diri, namun juga menyimpan berbagai ancaman.
"Orang tua memikirkan bagaimana caranya membuat anak saya itu bisa menggunakan gadget dengan lebih mampu mengendalikan diri,” terang peraih penghargaan Shine On Award (2015) itu.
Keresahan itu akhirnya dijawab pemerintah beberapa bulan lalu lewat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 populer dengan nama Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Regulasi ini lahir dari mandat Undang-Undang ITE terbaru dan digadang-gadang sebagai tonggak perlindungan anak di ruang digital.
Peraturan ini diteken Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, pada Jumat, 28 Maret 2025. "Teknologi digital menjanjikan kemajuan pesat bagi kemanusiaan, tetapi tanpa pengelolaan yang baik, justru dapat merusak moral dan psikologi anak-anak kita," ujar Prabowo dalam pidatonya.
Aspek Penting PP Tunas
Salah satu aspek krusial dalam PP Tunas adalah pengaturan batas usia anak untuk mengakses ruang digital. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid kebijakan ini mempertimbangkan aspek tumbuh kembang anak serta tingkat risiko dari platform yang digunakan.
"Meskipun anak-anak berusia 16 tahun dapat membuat akun secara mandiri, akses mereka tetap membutuhkan pendampingan dan pengawasan dari orang tua," ujar Meutya dalam konferensi pers usai peluncuran PP Tunas di Istana Kepresidenan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono mengatakan adanya pembatasan usia anak untuk mengakses media sosial diharapkan akan mengurangi dampak negatif.
"Harapannya demikian, pengaruh negatif media sosial terhadap anak bisa diminimalisir, berdampak pada kesehatan mental dan prilaku positif anak. KPAI menemukan beberapa kejadian prilaku menyimpang anak, berawal dari tontonan di medsos," sebut Aris.
Berikut adalah kategori website dan aplikasi berdasarkan PP Tunas:
Di bawah 13 tahun, hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman, seperti situs edukasi atau platform anak.
13-15 tahun, diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang.
16-17 tahun, bisa mengakses platform dengan risiko tinggi, tetapi harus dengan pendampingan orang Tua.
18 tahun ke atas, diperbolehkan mengakses secara independen semua kategori platform. Namun, PP Tunas tidak menyebutkan secara eksplisit aplikasi yang termasuk kategori risiko rendah, sedang, atau tinggi.
Platform seperti X, Instagram, atau YouTube harus melakukan evaluasi sendiri dan melaporkan kategori mereka kepada Kementerian Komdigi.
Namun beberapa orang tua belum membaca peraturan tersebut hal ini diakui Ella, ibu rumah tangga asal Bekasi.
"Belum baca. Tapi anak-anak saya bebaskan bermain youtube, game namun dibatasi jamnya," pengakuan Ella, IRT dengan empat anak.
Sementara itu, Warga asal Ciganjur, Jakarta Selatan Musthofa Asrori mengaku sudah membaca sebagian peraturan tersebut. "Sudah membaca sebagian," kata Musthofa.
Musthofa dan istri membuat aturan khusus kepada putra-putrinya dalam penggunaan ponsel. "Lebih tepatnya membatasi penggunaan smartphone. Hanya Sabtu dan Minggu saja jatah nonton youtube," ucapnya.