Jakarta, NU Online
Akademisi dan pengampu Ngaji Ihya’ Online, Ulil Abshar Abdalla mengatakan, pandangan yang menuduh perempuan sebagai sumber fitnah sudah mulai terkikis di kalangan muslim tradisional. Perlahan-lahan mulai muncul kesiapan dan keterbukaan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam ruang publik.
Hal itu, ia cermati di kalangan masyarakat pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) tidak lagi mempersoalkan perbedaan itu dalam kegiatannya. Meskipun begitu, ada kecenderungan yang berbeda untuk masyarakat muslim kota yang mulai mempercayai kembali perempuan sumber fitnah.
“Muslim di kota justru ada arah sebaliknya dan mempercayai kembali pandangan itu karena aktif dalam komunikasi publik. Artinya pendapat itu berpotensi menyebar. Cara terbaik untuk melawan itu dengan buku ini (mubadalah untuk melawan miskonsepsi tentang perempuan),” ujarnya di acara peluncuran dan bedah buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah dilihat NU Online, Selasa (28/9).
Selama ini diketahui, lingkup masyarakat misoginis dan partiarkal kerap meletakkan perempuan di posisi yang direndahkan kemanusiaannya. Karena itu, perempuan dituduh sebagai sumber fitnah dan kembali disalahkan ketika jadi korban kekerasan seksual.
Alih-alih menuntut dan menjatuhkan hukuman pada pelaku, korban justru dibombardir dengan komentar menyudutkan, seperti pakaian yang terlalu terbuka atau keluar di waktu malam.
Tidak setuju dengan ungkapan perempuan sumber fitnah, cendekiawan Islam Faqihuddin Abdul Kodir mengungkapkan, laki-laki maupun perempuan sejatinya bisa menjadi sumber fitnah. Namun, di saat bersamaan keduanya juga adalah sumber rahmat.
Dengan demikian, yang menjadi poin penting bukan menilai seseorang sebagai sumber fitnah atau tidak. Akan tetapi, cara manusia menjadi anugerah untuk kemaslahatan bersama.
“Praktik dasarnya hidup ini semua fitnah, tapi juga rahmat. Yang fitnah itu juga tidak perempuan, tapi anak, keluarga, dan laki-laki. Terpenting adalah bagaimana cara kita mengolah masalah memandang perempuan itu hanya fitnah, tanpa ada akal, budi, dan peran. Ini yang salah kaprah,” ujarnya.
Metode Mubadalah
Faqihuddin menerangkan alasan ia menulis buku itu adalah untuk menunjukkan pandangan perempuan sumber fitnah tersebut semakin mengakar di masyarakat, ketika hadits dipahami secara literal saja. Karenanya, perlu pembacaan teks dengan metode mubadalah yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara dalam literatur keagamaan.
“Hadits daif (yang kesahihannya lemah) banyak dipercaya orang, terutama di media sosial. Hadits itu tidak ada rujukannya. Ketika validitas hadits tidak bisa dipertanggungjawabkan, mubadalah yang menjadi perisai, penyaring, sekaligus alat kita berhadapan dengan hadits itu,” terangnya.
Ulama feminis KH Husein Muhammad menilai mubadalah adalah golden rule yang menuntun manusia untuk maju ke depan. Relasi manusia, tidak hanya dalam konteks gender tapi seluruh keragaman ikatan suku dapat terus dikukuhkan dan mencapai puncak kedamaian dengan metode tersebut.
Senada, aktivis perempuan dan Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Lies Marcoes mengatakan, metode mubadalah tersebut juga mengikis nilai misoginis dalam hadits yang menempatkan perempuan sebagai objek.
“Betapa beratnya menjadi perempuan mencintai Nabi melalui hadits yang dihadirkan secara misoginis. Semacam orang Papua yang diminta mencintai NKRI sementara hal sebaliknya (represi) terjadi pada orang Papua,” kata Lies.
Lebih lanjut, Akademisi bidang Tafsir dan pendiri Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam), Nur Rofiah menjelaskan, melihat kemanusiaan perempuan dan laki-laki secara utuh dan setara menjadi penting agar kemungkaran dapat dicegah. Selain itu, melihat perempuan sebagai manusia utuh dan tidak sebagai makhluk fisik dan objek seksual.
“Untuk melengkapi kesetaraan itu juga harus ada perhatian pada perbedaan, perempuan memiliki pengalaman biologis dan sosial yang berbeda dengan laki-laki. Agar keduanya bisa mendapatkan kemaslahatan maka ketidakadilan yang menambah sakit perempuan tidak boleh terjadi,” jelasnya.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori