Nabi Muhammad Menegakkan Keadilan dan Hak-hak terhadap Perempuan
NU Online Ā· Sabtu, 18 September 2021 | 06:30 WIB
Guru Besar Fakultas TarbiyahĀ UINĀ Sunan Gunung DjatiĀ Bandung, Nina Nurmila. (Foto: australiaawardindonesia.org)
Muhamad Abror
Kontributor
Jakarta, NU Online
Penerjemah buku Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek, Nina Nurmila menjelaskan, praktik penegakkan keadilan terhadap perempuan sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. Menurut Nina, Islam yang dibawa oleh Rasulullah mengajarkan pentingnya keadilan, termasuk keadilan antara laki-laki dan perempuan.
āKonsekuensi nilai keadilan itu tercermin dalam penolakan Islam terhadap tradisi bangsa Arab dahulu yang mengubur hidup-hidup anak perempuan ketika baru lahir,ā jelas Nina saat membedah buku Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek yang dilangsungkan secara daring, Jumāat (17/9/2021).
Nina melanjutkan, dasar pengingkaran tradisi bangsa Arab Jahiliyyah itu disinggung dalam Al-Qurāan surat An-Nahl ayat 59, yaitu alĆ¢ sĆ¢āa mĆ¢ yaįø«kumĆ»n. Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. āIni merupakan praktik feminisme, hanya saja belum diistilahkan saat itu,ā imbuhnya.
Dalam momen itu, Nina mengungkapkan, praktik feminisme zaman Nabi Muhammad juga tampak dalam masalah waris. Dulu pada masa Arab Jahiliyyah, perempuan dianggap sebagai sesuatu yang bisa diwariskan. Tetapi begitu Islam datang, perempuan tidak hanya bisa menerima waris, juga bisa memberi harta waris.
āIni merupakan reformasi yang sangat progresif pada masanya,ā tutur wanita kelahiran Cirebon, Jawa Ā Barat itu.Ā
Praktik feminisme pada zaman Nabi berikutnya adalah monogami. Dulu pada masa Arab Jahiliyah juga belum ada pembatasan memperistri. Ketika Islam datang, terjadi pembatasan dengan maksimal empat istri.
Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 3, yaitu fangkiįø«Ć» mĆ¢ thĆ¢ba lakum minan nisĆ¢āi matsnĆ¢ wa tsulĆ¢tsa wa rubĆ¢ā. Maka nikahilah perempuan- perempuan yang kalian sukai, dua, tiga, atau empat.
āAyat ini pun masih dibaca setengah-setengah oleh beberapa kalangan. Mereka mengabaikan fawâḫidatan (satu perempuan), ā ungkap Guru Besar Fakultas TarbiyahĀ UINĀ Sunan Gunung DjatiĀ Bandung ini.
Menurut Nina, definisi feminisme sebagaimana tertulis dalam bukunya adalah kesadaran terhadap adanya penindasan dan perendahan terhadap perempuan karena jenis kelamin mereka, upaya untuk mengeliminasi penindasan atau subordinasi, serta untuk mencapai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
āHanya saja, feminisme ini banyak disalahpahami dan dianggap sesuatu yang sangat negatif tanpa didasari pengetahuan yang cukup,ā ucap Nina.
Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Gus Yahya Ajak Seluruh Pengurus NU Siapkan Muktamar Ke-35 sebagai Jalan Terhormat dan Konstitusional
2
Pertemuan Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah di Lirboyo Putuskan Muktamar Ke-35 NU Bakal Digelar Secepatnya
3
KH Miftachul Akhyar Undang Rapat Konsultasi Syuriyah dengan Mustasyar PBNU di Pesantren Lirboyo
4
Gus Yahya Tanggapi KH Miftachul Akhyar soal AKN-NU, Peter Berkowitz, hingga Dugaan TPPUĀ
5
KH Miftachul Akhyar Sampaikan Permohonan Maaf terkait Persoalan di PBNU
6
Khutbah Jumat: Rajab, Shalat, dan Kepedulian Sosial
Terkini
Lihat Semua