Jakarta, NU Online
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Nation Formation (1900-1950) dan Kamus Sejarah Indonesia Jilid II Nation Building (1951-1998). Ada berbagai kejanggalan dalam buku yang diterbitkan pada tahun 2017 tersebut.
Buku dalam bentuk salinan lunak (soft copy) tersebut beredar luas di tengah masyarakat. Namun, buku itu menuai polemik karena ada protes dari warga Nahdliyin karena tidak mencantumkan nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Hal itu menunjukkan keganjilan dari proses pembuatan buku itu. Terlebih protes itu ditanggapi Kemendikbud dengan pembelaan diri dan sanggahan yang semakin menunjukkan kejanggalan buku itu.
Setidaknya, ada tujuh kejanggalan mengenai dan di dalam buku tersebut.
1. Klaim belum diterbitkan resmi, tapi ada ISBN
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid membantah pihaknya telah menerbitkan buku tersebut. Melalui siaran pers tertulis, ia menyebut bahwa buku tersebut belum diterbitkan secara resmi.
“Buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I tidak pernah diterbitkan secara resmi,” kata Hilmar melalui siaran pers tertulis pada Senin (19/4).
Meskipun demikian, jika ditilik lebih jauh, bantahan tersebut terbantahkan secara otomatis dengan adanya nomor ISBN. NU Online mengakses situsweb ISBN Perpustakaan Nasional guna melakukan pencarian nomor ISBN yang tercantum dalam buku tersebut, yakni 978-602-1289-76-1 untuk jilid I dan 978-602-1289-77-8 untuk jilid II.
Hasilnya menunjukkan buku tersebut sudah terbit pada tahun 2017. Adapun penerbitnya adalah Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Dirketorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
2. Tidak ada nama Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari
Kejanggalan selanjutnya, buku tersebut tidak memuat nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Padahal pendiri organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia ini disebut dalam keterangan mengenai KH Abdul Wahab Chasbullah. Namun, namanya tidak ada dalam entri tersendiri.
3. Tidak ada nama KH Abdurrahman Wahid
Selain Kiai Hasyim, tokoh NU lain yang tidak termaktub dalam buku tersebut adalah cucunya, yakni KH Abdurrahman Wahid. Kiai yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur itu disebut berulang kali saat menerangkan ayahandanya, KH Abdul Wahid Hasyim dan Anak Agung Gde Agung dan Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menjabat menteri di eranya menjadi Presiden Keempat Republik Indonesia.
4. Tidak ditemukan istilah Resolusi Jihad
Hal lain yang tidak tertulis dalam buku tersebut adalah istilah Resolusi Jihad. Padahal, seruan yang dimaklumatkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 tersebut sangat monumental karena mencetuskan Perang 10 November 1945 di Surabaya.
Dalam Ensiklopedia NU, Resolusi Jihad diartikan sebagai seruan yang dikeluarkan oleh NU yang ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan umat Islam Indonesia untuk berjuang membela tanah air dari penguasaan kembali pihak Belanda dan pihak asing lainnya beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan.
5. Ada Tanda Tangan Dirjen Kebudayaan
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid mengklaim bahwa buku Kamus Sejarah Indonesia tidak pernah diterbitkan secara resmi. Tetapi buku kamus tersebut justru terdapat tanda tangan dirinya sebagai Dirjen Kebudayaan.
6. Kamus Raib dari Website Kemendikbud
Sebelumnya, Kamus Sejarah Indonesia Jilid 1 dan 2 diterbitkan di website rumahbelajar.id milik Kemendikbud. Namun, saat ini kamus dua jilid tersebut tiba-tiba raib atau hilang dari situs web itu.
7. Tokoh nasional tidak ada, tokoh asing masuk
Di saat tokoh-tokoh penting nasional tidak ada, justru nama Gubernur Belanda HJ Van Mook justru dimasukkan. Diceritakan Van Mook lahir di Semarang 30 Mei 1894 dan meninggal di L’llla de Sorga, Perancis 10 Mei 1965. Tentara dan intelijen Jepang Harada Kumaichi juga dimasukkan dalam kamus. Tokoh lain yang justru ditemukan adalah tokoh komunis pertama di Asia Henk Sneevliet.
Ada juga beberapa kesalahan teknis, di antaranya ada dua entri KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Chasbullah
Jika hal-hal di atas tidak disebutkan, nama KH Abdul Wahid Hasyim justru disebutkan dua kali pada buku Jilid II. Entri pertama ditulis Abdul Wahid Hasjim, K.H., sedangkan entri kedua ditulis Wachid Hasjim, K.H.
Adapun nama KH Abdul Wahab Chasbullah disebutkan dua kali di buku jilid I dan jilid II. Pada jilid I, namanya termaktub Abdul Wahab Chasbullah, sedangkan pada jilid II namanya tertulis Wahab Chasbullah, K.H.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad