Nasional

Udeng Ikat Tradisional: Akulturasi Budaya Lokal dan Agama Islam

Kamis, 1 November 2018 | 13:15 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda serta memaknai keberagaman serta kearifan lokal, Lesbumi Kota Depok bekerja sama dengan Komunitas Tepo Sliro mengadakan Ngaji Budaya: “Udeng Ikat Tradisional dan Filosofinya”. Ngaji Budaya diselenggarakan di Roemah Batoe, Sawangan, Kota Depok.

Inisiatif Ngaji Budaya ‘Udeng Ikat Tradisional dan Filosofinya’ didasari bahwa banyak berbagai bentuk Udeng Ikat Tradisional di Indonesia, namun sangat jarang orang yang mengerti fungsi dan filosofinya. Oleh karenanya perluada transfer knowledge khususnya kepada generasi muda.

“Ngaji Budaya dimaksudkan agar masyarakat mencintai dan melestarikan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Serta mensyukuri anugerah dan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt atas apa yang diberikan di Bumi Indonesia” kata Sekretaris Lesbumi Kota Depok, Kang Ade, Kamis (1/11).

Ketua Lesbumi Kota Depok, Romo Donny R Ranoewidjojo yang menjadi pemateri menyampaikan bahwa Udeng Ikat Tradisional di Indonesia memiliki filosofi yang berbeda dari tiap bentuknya. Pada awalnya Udeng Ikat Tradisional digunakan oleh masyarakat agar keringat tidak jatuh kemata. Hal ini didasari karena Nusantara beriklim tropis yang kecenderungannya mudah berkeringat.

Kemudian terkait dengan sejarah, fungsi, dan filosofisnya. Fungsi Udeng Ikat Tradisional juga dipengaruhi letak atau wilayah geografisnya, misalnya Udeng Ikat Tradisional di wilayah pantai memiliki kecenderungan tidak menutupi telinga dalam pemakaiannya. Namun, akan sebaliknya jika yang berada di wilayah pedalaman atau pegunungan. 

“Indonesia itu unik, dari Udeng Iket Tradisional saja sudah sangat beragam sekali. Lah dengan kekayaan seperti ini kalau kita tidak bersyukur yah kebangetan namanya. Wajar saja jika para ilmuan menyebut bahwa Indonesia adalah Laboratorium Antropologi hidup yang paling lengkap di dunia”, ujar Romo Donny.

Selain itu juga dijelaskan persemaian Islam di Nusantara juga memperngaruhi Udeng Ikat Tradisional menjadi lebih tertutup. Hal tersebut dikarenakan selain adanya tuntunan agama Islam, juga karena unsur pergeseran makna apabila terbuka dianggap kurang sopan. 

Ada juga karena “mondol” yang di dahi dianggap mengganggu ketika sholat khususnya saat bersujud, “mondol” tersebut pindah posisinya di belakang. Sehingga dalam hal ini unsure Islam menyatu dengan kebudayaan Nusantara tanpa adanya gesekan budaya yang serius.

Dalama cara Ngaji Budaya tersebut juga dipraktekkan cara memakai Udeng Ikat Tradisional. Para peserta acara nampak antusias diselingi gelak tawa karena terkadang kesulitan mempraktekkannya. “Wah ternyata tidak mudah yah, lumayan susah”, seloroh Pak Pram dari Komunitas Tepo Sliro. 

Komunitas Tepo Sliro juga menyampaikan terima kasih sudah diajak bekerjasama dalam kegiatan acara, serta berharap kolaborasi seperti ini dapat dilakukan lebih intensif. Pak Pram juga menyampaikan, “semoga berbagai komunitas guyup rukun dalam bingkai NKRI.

Acara Ngaji Budaya ditutup dengan pesan dan do’a yang dipimpin oleh Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama KH. R. Salamun Adiningrat. (Red: Ahmad Rozali)


Terkait