Waketum PP Pergunu Sebut Pendidikan Jadi Kunci Kesejahteraan Masyarakat
Selasa, 2 Mei 2023 | 16:00 WIB
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum PP Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Ahmad Zuhri mengungkapkan bahwa pendidikan punya peran besar dalam membangun kesejahteraan masyarakat.
“Pendidikan adalah kunci untuk memperbesar peluang menjadi lebih baik dan sejahtera,” ucap Ahmad Zuhri kepada NU Online, Selasa (2/5/2023).
Menurutnya, pendidikan menjadi salah satu sarana menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang cerdas, sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur.
“Dengan pendidikan kita bisa meletakan esensi kemanusiaan secara utuh tanpa ada eksploitasi,” kata dia.
“Namun banyak sekali catatan atau kilas balik tahun-tahun ke belakang nyatanya untuk mencapai cita-cita nasional masih banyak pekerjaan rumah,” ungkapnya.
Tantangannya, lanjut dia, bukan hanya kesenjangan fasilitas pendidikan, tetapi juga akses pendidikan yang belum merata.
“Beberapa daerah belum mendapat akses pendidikan secara layak. Bukan sekadar akses fasilitas pendidikan tapi akses putra putri terbaik kita mendapatkan kesempatan belajar lebih lanjut lagi,” ungkap dia.
Penggunaan dana pendidikan belum maksimal
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengomentari soal penggunaan anggaran pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan. Ia menilai bahwa komitmen pemerintah dalam bidang pendidikan dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN belum maksimal.
“Dua puluh persen itu angka minimal. Kita ingin hasil yang maksimal, nggak mungkin hasil maksimal dibiayai dengan biaya minimal. Itu pun di level provinsi dan kab/kota banyak yang tidak sampai 20. Menyentuh angka minimal saja tidak. Itu soal dukungan komitmen melalui anggaran,” jabar Ubaid.
Selain itu, juga perlu dicermati secara detail lagi terkait penggunaan porsi anggaran pendidikan. Menurutnya, 20 persen anggaran pendidikan di banyak daerah justru tidak terpenuhi.
“Mayoritas sekitar 80 persen itu larinya ke belanja pegawai, untuk gaji guru dan lain-lain. Itu perlu diperhatikan digunakan ke mana apakah pada peningkatan kualitas atau justru tidak memberikan kontribusi pada kualitas pendidikan,” jelasnya.
“Kalau begitu sisa 20-10 persen, itu bisa apa. Artinya, komitmen pemerintah dilihat dari sisi pembiayaan itu masih jauh panggang dari api,” sambungnya.
Tiga PR pendidikan Indonesia
Sedikitnya, Ubaid menjelaskan terdapat tiga PR pendidikan Indonesia yang ia sorot. Mulai dari akses pendidikan yang belum merata hingga pendidikan yang belum terkategori sebagai sektor prioritas negara.
“Pertama, soal akses itu masih menjadi masalah terutama bagi kelompok marjinal. Jadi dengan pendidikan yang berbayar menghalangi anak Indonesia untuk bisa mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Tidak sekadar sekolah, tapi juga mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas,” paparnya.
Menurutnya, hingga kini masih ada kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta. Hal ini kentara dari kebijakan sekolah negeri gratis dan sekolah swasta bayar.
“Sementara dalam UU Sisdiknas tidak pernah ada membedakan antara sekolah negeri dan swasta. Anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pembiayaan ditanggug pemerintah,” jabar dia.
“Jadi seluruh warga negara Indonesia dijamin UUD 1945 mendapatkan pendidikan mau di negeri atau swasta, tapi tadi itu kan ada gap soal akses dan hari ini belum selesai,” tambahnya.
Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) tenaga pendidik. Menurutnya, masyarakat masih sering terjebak pada diskursus pergantian kurikulum. Padahal, lebih penting dari itu, peningkatan kualitas tenaga pendidik sebagai aktor utama masih perlu diperhatikan.
“Ini yang sering terjadi dan dikatakan bahwa setiap ganti menteri ganti kurikulum. Kita lupa bahwa siapa aktor utama dari kurikulum itu tentu adalah guru. Kalau kurikulum diubah terus tapi gurunya tidak berkualitas, tidak akan berkontribusi apa-apa. Tidak ada dampak yang signifikan pada perubahan. Kualitas mutu guru ini harus jadi prioritas,” jelas Ubaid.
Apalagi, lanjutnya, berdasarkan data asesmen nasional guru-guru di Indonesia masih banyak yang berada di bawah standar nasional. Guru kemudian diminta tidak hanya menuntut soal kesejahteraan dan upah yang layak, tapi juga peningkatan dan pemberian pembelajaran yang berkualitas.
“Kalau gurunya ada di bawah standar, tentu tidak bisa berharap banyak dari kondisi peserta didik. Karena itu, ini menjadi sangat serius,” terangnya.
Ketiga, pendidikan belum menjadi sektor prioritas di Indonesia. Hal Ini terlihat dari masih buruknya pendidikan karakter di level lembaga pendidikan.
“Jadi meskipun judulnya pemerintah kita adalah revolusi mental, tapi di momen Hardiknas ini kita merefleksikan bahwa pemerintah masih kalang kabut membangun infrastruktur moral atau karakter Indonesia,” tutupnya.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi