Nasional

Warisan Orde Baru dan Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai

Selasa, 14 Oktober 2025 | 22:15 WIB

Warisan Orde Baru dan Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai

Ilustrasi petani. (Foto: AI/freepik)

Jakarta, NU Online

Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman menyebut bahwa konflik agraria di Indonesia merupakan persoalan lama yang tak kunjung usai.


Warisan kebijakan Orde Baru yang sentralistik, tumpang tindih hukum, serta semakin menguatnya dominasi oligarki atas tanah menjadi sumber ketimpangan yang terus diwariskan hingga hari ini.


Pandangan itu ia sampaikan dalam diskusi yang diadakan Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA), Selasa (14/10/2025).


“Kita menghadapi tiga sumber masalah utama: pertama, warisan kebijakan Orde Baru yang sangat sentralistik dan berorientasi keamanan; kedua, tumpang tindih peraturan hukum pertanahan; dan ketiga, konsentrasi penguasaan tanah di tangan oligarki,” ujar Benny.


Atas nama pembangunan

Benny menjelaskan bahwa pola kebijakan pertanahan di masa Orde Baru dibangun dengan pendekatan keamanan (security approach). Negara menjadi pemilik mutlak atas lahan, sedangkan rakyat kehilangan hak-haknya atas nama pembangunan.


“Tanah milik masyarakat baik perorangan maupun khalayak diambil begitu saja tanpa proses penyelesaian yang adil. Tidak ada kepastian hukum, bahkan menimbulkan perlawanan rakyat terhadap negara,” ungkapnya.


Ia mencontohkan, hingga kini masih banyak wilayah adat yang secara turun-temurun dihuni masyarakat, tetapi kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh negara tanpa sosialisasi dan persetujuan warga.


“Di beberapa daerah, bahkan kampung dan makam leluhur warga masuk kawasan hutan tanpa mereka tahu,” tambahnya.


Menurut Benny, masalah agraria juga disebabkan oleh dualisme hukum dan tumpang tindih peraturan antarsektor.


Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mestinya menjadi payung hukum utama justru sering berbenturan dengan undang-undang sektoral seperti kehutanan, pertambangan, dan lingkungan hidup.


“Ada dualisme hukum yang membingungkan. UUPA berpihak kepada rakyat, tetapi undang-undang sektoral sering kali pro-oligarki dan investor. Akibatnya, konflik lahan terus berulang dari masa ke masa,” jelasnya.


Lemahnya rekognisi terhadap masyarakat adat pun memperburuk situasi. Negara lamban mengakui hak-hak masyarakat atas lahan, sementara izin korporasi terus diterbitkan.


“Ada kesan situasi ini sengaja dibiarkan untuk memudahkan investor menguasai sumber daya alam di tanah rakyat,” kata Benny.


Oligarki kuasai tanah dan regulasi

Benny menyoroti meningkatnya konsentrasi penguasaan tanah di tangan segelintir orang. Mengutip data Badan Pertanahan Nasional (BPN), ia menyebut 0,2 persen penduduk menguasai sekitar 35 persen total lahan nasional.


“Oligarki kini bukan hanya menguasai politik, tapi juga ekonomi dan sumber daya alam. Bahkan ikut menentukan regulasi yang seharusnya dibuat untuk rakyat,” tegasnya.


Kondisi tersebut, lanjutnya, tidak hanya memperlebar jurang ketimpangan sosial, tetapi juga melahirkan praktik kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah.


“Banyak warga kecil dituduh melanggar hukum hanya karena membela haknya. Pasal-pasal karet dalam KUHP dan UU ITE sering digunakan untuk menekan mereka,” ujarnya.


Benny menyebut, dampak dari konflik agraria tidak berhenti pada sengketa hukum. Ia juga meninggalkan luka sosial, ekonomi, dan ekologis.


Dari kerusakan lingkungan akibat tambang dan perkebunan, hingga kekerasan terhadap warga dan pelanggaran hak asasi manusia.


“Kita semua tahu banyak konflik lahan berujung pada kekerasan dan korban jiwa. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal kemanusiaan,” ucapnya.


Untuk keluar dari kebuntuan ini, Benny menekankan pentingnya reformasi hukum agraria secara komprehensif.


Ia mendorong sinkronisasi antara UUPA dengan seluruh undang-undang sektoral, serta pembentukan peradilan khusus pertanahan yang mampu mengeksekusi putusan secara adil dan efektif.


“Kita harus mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat dan memastikan fungsi sosial tanah dijalankan sebagaimana amanat UUPA. Peradilan khusus pertanahan penting, tapi itu hanya instrumen. Tujuannya tetap: memastikan rakyat punya akses adil atas tanah,” jelasnya.


Selain itu, Benny menegaskan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam penyelesaian konflik tanah. Ia menyerukan agar masyarakat sipil terus berperan aktif dalam advokasi berbasis data dan pendampingan di lapangan.


Benny menegaskan bahwa konflik agraria bukan masalah personal, melainkan masalah struktural dan sistemik yang harus dihadapi bersama. DPR, menurutnya, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan seluruh regulasi dan kebijakan pertanahan berjalan selaras demi keadilan sosial bagi rakyat kecil.


“Pertanahan bukan sekadar urusan teknis, tapi soal keadilan sosial. DPR harus memastikan kebijakan yang dibuat tidak tumpang tindih dan benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada oligarki,” tegasnya.


Ia juga berpesan agar masyarakat sipil tidak berhenti bersuara.


“Kita tidak boleh lelah mendampingi rakyat yang haknya dirampas. Selama tanah masih menjadi sumber hidup, perjuangan untuk keadilan agraria tak boleh berhenti,” pungkasnya.


Warisan data pertanahan yang buruk

Menanggapi persoalan yang diangkat Benny, Direktur Penanganan Perkara Pertanahan Kementerian ATR/BPN Joko Subagyo mengakui bahwa akar kompleksitas konflik agraria juga bersumber dari lemahnya data pertanahan nasional yang merupakan warisan dari masa lalu.


“Data pertanahan yang ditinggalkan dari masa lalu itu memang kurang bagus. Maka kami jujur saja, butuh upaya keras untuk melakukan pendaftaran tanah,” ujar Joko.


Menurutnya, kualitas data yang buruk berkontribusi terhadap tumpang tindih sertifikat, sengketa lahan, hingga konflik antarwarga maupun antara masyarakat dan korporasi.


Kementerian ATR/BPN, lanjutnya, terus berupaya memperbaiki sistem pendaftaran tanah melalui digitalisasi data, mediasi non-litigasi, serta pembentukan tim terpadu pemberantasan mafia tanah.


“Kami berupaya menyelesaikan kasus pertanahan secara profesional dan proporsional. Kementerian ATR/BPN harus netral dan imparsial,” tegasnya.


Joko menambahkan, salah satu langkah strategis yang kini didorong adalah pembentukan pengadilan khusus pertanahan, sebagaimana pernah diwacanakan dalam RUU Pertanahan 2019.


“Majelis hakim di pengadilan umum belum didesain untuk mengadili perkara pertanahan karena tidak dibekali keahlian khusus di bidang itu. Padahal jumlah kasusnya sangat besar,” ujarnya.