Warteg, Warung Kuliner Lokal Lintas Kalangan dan Lintas Negara
Ahad, 18 September 2022 | 09:00 WIB
Wahteg Kalimalang, Warung Tegal berkonsep modern di Kalimalang, Bekasi Selatan (Foto: dok. Lydia Adisuwignjo/Suci Amaliyah)
Jakarta, NU Online
Datang dari Tegal, Jawa Tengah, Warung Tegal disingkat Warteg tak lepas dalam denyut nadi kehidupan warga lintas kalangan di kota-kota besar di Indonesia khususnya untuk mereka yang suka menyantap makanan dengan harga terjangkau namun nikmat. Bahkan warteg populer dan eksis di sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, Belanda, Jerman, dan Arab Saudi.
Porsi besar, harga murah, dan rasa yang menggoyang lidah ini membuat Warteg laris manis. Pilihan lauk mulai dari telur, ayam, ikan, hingga bermacam sayuran dan gorengan serta kerupuk membuat warung ini semakin diminati. Terlebih suguhan segelas teh manis mampu melepas dahaga saat makan. Menariknya paket komplet ini dibandrol dengan harga berkisar Rp10 ribu hinga Rp20 ribu saja.
Melihat fenomena eksisnya warteg ini, Rinda Asytuti dalam penelitiannya yang dipublikasikan pada 2015 menyebut bahwa warteg sebagai salah satu bentuk usaha gastronomi berskala mikro yang berada di wilayah urban atau kota.
Gastronomi adalah istilah untuk menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan penyediaan atau penyajian makanan. Warung Tegal sejak awal kemunculannya selalu berkait erat dengan perkembangan kaum urban dan pemenuhan kebutuhan perutnya.
Umumnya warteg buka dari pagi hingga malam hari bahkan 24 jam sehari untuk menyediakan sarapan, makan siang, hingga makan malam dengan harga yang sangat bersahabat di kantong konsumen.
Asal-usul Warteg
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan Bogor, Agnes Setyowati dalam tulisannya Kuliner Warung Tegal, Bisnis Lokal yang Tak Lekang oleh Waktu yang diterbitkan Kompas menyebut kehadiran warteg di ibu kota dimulai sejak tahun 1970-an dan diinisiasi oleh anggota komunitas yang berasal dari daerah Sidapurna dan Sidakaton, Tegal yang kemudian para pemiliknya bergabung dalam asosiasi Koperasi Warung Tegal atau Kowarteg untuk mengembangkan bisnis mereka di sejumlah wilayah. Seiring perkembangan zaman warteg kemudian berkembang menjadi bisnis kuliner lokal yang tersebar baik di dalam hingga di luar pulau Jawa.
Di samping motif ekonomi, menjamurnya warteg di berbagai daerah terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dikarenakan warteg sudah menjadi tradisi yang sudah dilakukan oleh generasi warga dari daerah tersebut. Bagi warga Tegal, budaya merantau dan usaha warteg di kota-kota besar sudah menjadi tradisi turun temurun karena kota tersebut diromantisi oleh mereka sebagai ruang untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.
Secara sosial budaya, menurut peneliti di bidang representasi identitas dan kajian budaya itu, warteg tidak hanya menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, tetapi juga sebagai tempat banyak orang untuk saling bertukar informasi mulai dari hal yang remeh temeh hingga perihal politik.
Seiring waktu, kepemilikan warteg mengalami perubahan yang sebelumnya hanya dimiliki perorangan kini menjadi sebuah paguyuban untuk orang yang memiliki kekerabatan berdasar kampung halaman maupun tidak. Dari hal ini konsepsi tentang warteg memberikan gambaran akan kerja sama berbasis ekonomi yang mengandalkan nilai-nilai tertentu seperti pengertian, kesamaan, konsepsi, dan motivasi serta nilai-nilai sosial lain seperti kepercayaan di antara pemiliknya.
Dari konsep tradisional ke modern
Seiring perkembangan zaman, dari segi konsumen warteg juga telah mengalami pergeseran makna. Dulunya identik dengan kelas menengah bawah kini kerap dinikmati oleh semua golongan. Konsep bangunannya pun telah mengalami perubahan, khususnya dari segi warna bangunan, dari mulai biru, hijau, oranye, dan banyak lagi.
Tidak hanya itu, sebagai salah satu bisnis kuliner, warteg juga bisa dikatakan sebagai usaha yang tidak hilang termakan zaman. Bagaimana tidak? Bisnis yang awalnya dikelola oleh masyarakat secara sederhana kini telah menjelma sebagai gerai makanan dengan konsep modern.
Wahteg Kalimalang adalah warteg berkonsep modern dan kekinian dilengkapi Ac dan wifi. Warteg yang khas dengan bangunan berwarna hijau dan desain interior kekinian ini berada di Jl KH Noer Ali Seberang Grand Metropolitan Bekasi Selatan, Bekasi.
Filosofi Warteg
Secara filosofis, warteg memiliki banyak makna simbolis. Misalnya, dua pintu yang terletak di sisi kanan dan kiri banguan yang menjadi ciri khas warteg pada umumnya memiliki arti tertentu. Budayawan asal Tegal Yono Daryono mengatakan bahwa simbol tersebut mengandung makna banyak rejeki.
Dari segi arsitektur, penempatan dua pintu di sisi kanan kiri bangunan dinilai efektif untuk mencegah antrean panjang pembeli karena karakterisik bangunan warteg yang tidak terlalu luas sehingga pemanfaatan lahan yang kecil sangat dipikirkan oleh mereka supaya pengunjung dapat keluar masuk warteg tanpa harus saling berdesakkan satu sama lain.
Tidak hanya itu, penggunaan lemari kaca untuk menempatkan berbagai jenis makanan yang ditawarkan warteg juga sangat memudahkan pembeli memilih makanan yang mereka suka, tanpa harus berpindah tempat yang berpotensi mengganggu pembeli lainnya.
Makanan yang disajikan pun identik dengan makanan khas pertanian lokal, seperti sayur lodeh, sayur asem, tempe orek, sayur daun singkong, sayur bayam, tumis kangkung, sambal. Yono Daryono mengatakan, hal itu merupakan hasil tani dan ladang masyarakat setempat yang dimasak dengan bumbu minimalis supaya harganya terjangkau.
Lalu, bangku panjang yang umumnya terdapat di depan lemari kaca untuk pengunjung yang ingin makan di tempat. Keberadaan bangkut semacam itu diartikan sebagai simbol kesetaraan (equality). Mereka yang datang dari berbagai kalangan dan kelas dapat saling berbincang-bincang tentang berbagai topik sambil menyantap hidangan warteg.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad