Satu Lagi, Ahli Hadits dari Betawi KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani Berpulang
Kamis, 27 Mei 2021 | 06:15 WIB
Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-2 pada universitas dan jurusan yang sama dan lulus tahun 1985. Pada tahun 1986, ia kembali ke Indonesia.
Jakarta, NU Online
Wafatnya Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani (ulama Betawi dan mantan Ketua Umum MUI Provinsi DKI Jakarta) pada siang jam 11.59 WIB (Kamis, 27/5/2021), merupakan kabar yang sangat mengagetkan dan menjadi duka yang mendalam bagi umat Islam Ibu Kota, khususnya masyarakat Betawi.
Almarhum adalah ulama Betawi terkemuka, menguasai ilmu keislaman yang mumpuni dan yang dituakan yang masih ada. Sudah sangat sedikit ulama Betawi terkemuka yang dituakan seperti beliau.
Saya mengenal beliau sejak melakukan penelitian di Basmol, Jakarta Barat, tentang Guru Madjid Pekojan di tahun 2008 dan ketika saya menjadi pengurus di MUI Provinsi DKI Jakarta yang beliau pimpin. Banyak ilmu dan wawasan yang saya dapat dari beliau selama berinteraksi dengannya.
KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani lahir di Kampung Basmol, Kembangan Utara, Jakarta Barat pada tanggal 1 Juli 1957 dari pasangan KH Abdul Ghani bin M Zein bin Muqri bin Sama`un dan Ny. Alijah. Pendidikan formalnya mulai ditempuh saat beliau berusia enam tahun dengan memasuki Sekolah Rakyat (SR) lulus tahun 1969, kemudian SLTP lulus tahun 1972, SMEP lulus tahun 1975, kemudian Madrasah Aliyah Annida, Bekasi lulus tahun 1978.
Beliau kemudian meneruskan kuliah S-1 ke Islamic University Medina, Arab Saudi Jurusan As-Sunnah (Hadits) dan lulus tahun 1982. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-2 pada universitas dan jurusan yang sama dan lulus tahun 1985. Pada tahun 1986, ia kembali ke Indonesia.
Pekerjaan pertama yang beliau lakukan setibanya di Indonesia adalah mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Al-Hidayah, kampung Basmol serta mendidik para santri Pondok Pesantren Al-Hidayah, kampung Basmol, Cengkareng.
Ia kemudian aktif di berbagai organisasi dan lembaga pendidikan Islam. Pada tahun 1990, beliau menikah dengan Nurhasanah binti Sarwo Wahdi. Ia dikaruniai lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan.
Seperti ulama Betawi lainnya, beliau juga mengajar kitab di beberapa majelis taklim dan halaqah yang tersebar di berbagai tempat di Jakarta dan Tangerang, Banten. Kitab yang diajarkan adalah Shahih Bukhari, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi, Fathul Mu`in, Tafsir Ibnu Katsir, Subulus Salam, Riyadhus Shalihin, Kifayatul Akhyar, Tafsir Jalalain, Al-Muwatha , Irsyadul `Ibad, dan lain-lain.
Selain mengajar kitab, beliau juga turut dalam penulisan kitab yang berjudul Al-Badru Munir fi Takhriji Ahadits Syarhil Kabir. Beliau tidak menulis kitab ini sendirian karena kitab ini terdiri atas 28 juz yang setiap juznya ditulis oleh satu orang. Beliau menulis untuk juz keempat yang berjumlah 458 halaman.
Kitab ini merupakan kenang-kenangan dari jurusan mahasiswa S-2 Islamic University Medina angkatan 1982 yang menjelaskan tentang hadits shahih yang berhubungan persoalan thaharah atau bersuci dari madzhab Syafi`i. Kitab ini telah diterbitkan oleh percetakan Daarul Ashima, Riyadh, Arab Saudi pada tahun 2009.
Selain sebagai ulama yang ahli di bidang hadits, beliau juga ahli di bidang falakiyah atau astronomi Islam. Beliau menguasai ilmu falak warisan dari Guru Madjid Pekojan dan ulama falak lainnya. Keahlian beliau di bidang falakiyah membuat banyak ustadz dan juga ulama mengaji ilmu falak, baik hisab maupun rukyat, kepada beliau.
Salah satu ilmu dan wawasan yang saya dapat dari beliau adalah ketika saya bicara dan diskusi empat mata dalam sesi wawancara dengan beliau tentang dakwah. Beliau menyatakan bahwa dakwah itu kewajiban setiap orang Muslim, bukan hanya kewajiban sebagian orang, dalam hal ini orang-orang yang menyandang gelar dai.
Ini yang harus dipahami umat Islam, khsususnya di DKI Jakarta. Beliau menyampaikan dalilnya, yaitu Surat Ali Imran ayat 104 yang artinya, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Beliau menyatakan bahwa ayat minkum tersebut setelah ayat waltakun itu huruf min-nya, menurutnya, bukan lit tab’idh yang menunjukkan sebagian, tetapi lil bayan yang menunjukkan keseluruhan. Jadi keseluruhan orang Islam wajib berdakwah, tergantung kapasitas dan obyek dakwahnya. Jika tidak mampu sama sekali ya berdakwah dengan qalbunya.
Beliau bukan sekadar paham dan menguasai tafsir ayat tersebut, tetapi menjalankan dan mencontohkan dakwah tersebut kepada diri beliau sendiri sehingga beliau dikenal sebagai orang, sosok ulama yang wara`, meninggalkan atau menghindari segala hal yang mengandung syubhat atau tidak jelas status halal haramnya. Ulama wara` saat inilah yang dicari umat, masyarakat, dan para pemimpin bangsa ini untuk diteladani. Sekali lagi, kita sangat kehilangan beliau. Lahul Al-Faatihah!
Kontributor: Rakhmad Zailani Kiki
Editor: Alhafiz Kurniawan