Masyarakat Betawi melakukan ziarah kubur pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Muharram, Rajab, Sya’ban, dan Syawal dan juga pada hari-hari tertentu, seperti hari Jum’at
Rakhmad Zailani Kiki
Kolomnis
Larangan ziarah kubur saat Lebaran dan beberapa hari setelah Lebaran oleh Pemprov DKI Jakarta karena alasan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah menimbulkan kontroversi walau akhirnya pada Senin ini dibolehkan untuk ziarah kubur dengan mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Dikarenakan masyarakat Betawi sendiri merupakan masyarakat yang gemar melakukan ziarah kubur.
Mereka mengunjungi kuburan bukan hanya ke kuburan leluhur, bapak, ibu atau kerabatnya; tetapi juga ke kuburan dari alim ulama dan habaib yang dianggap mempunyai keberkahan, karamah atau berada di derajat kewalian.
Masyarakat Betawi melakukan ziarah kubur pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Muharram, Rajab, Sya’ban, dan Syawal dan juga pada hari-hari tertentu, seperti hari Jum’at. Cara berziarah kubur dilakukan secara individu, atau rombongan dengan membaca surah Yasin dan tahlil, ratib, shalawat, dan berdoa sebagai tawasulan di hadapan kuburan dari ahli kubur yang dituju.
Namun, kontroversi larangan tersebut justru mengingatkan saya kepada sebagian kuburan alim ulama di Betawi yang tidak terpengaruh dengan larangan itu yang menguntungkan ahli waris, murid-murid, atau mereka yang ingin berziarah, terutama di saat dan setelah Lebaran pada masa pandemi Covid-19 ini.
Dikarenakan, kuburan mereka tidak berada di Taman Pemakaman Umum (TPU), tapi umumnya berada satu kompleks dengan masjid atau satu kompleks dengan lembaga pendidikan yang telah mereka dirikan atau didirikan oleh putra-putri mereka atau satu kompleks atau bersebelahan dengan rumah mereka atau dengan rumah ahli waris mereka.
Seperti kuburan Habib Husien Luar Batang dan beberapa ulama lainnya yang berada di dalam kompleks Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara; kuburan Habib Ali Kwitang dan keturunannya yang berada dalam satu kompleks di Masjid Al-Riyadh, Kwitang, Jakarta Pusat; kuburan Guru Marzuqi Cipinang Muara yang berada satu kompleks dengan Masjid Al-Marzuqiyah, Cipinang Muara, Jakarta Timur; kuburan Guru Manshur Jembatan Lima yang berada satu kompleks dengan Masjid Al-Manshur, Jembatan Lima, Jakarta Barat; kuburan Guru Madjid Pekojan yang berada satu kompleks dengan Masjid Al-Musyari`in, Basmol, Jakarta Barat.
Demikian juga dengan kuburan KH Hasbiyallah yang berada satu kompleks dengan Masjid Al-Makmur, Klender, Jakarta Timur; kuburan KH Abdullah Syafi`i yang berada di Kompleks Perguruan Islam As- Syafi'iyah, Jatiwaringin, Pondok Gede, Jakarta Timur; kuburan KH Thohir Rohili yang berada di Kompleks Lembaga Pendidikan Islam Attahiriyah, Tebet, Jakarta Selatan; kuburan Mu`allim KH M Syafi`i Hadzami yang berada satu kompleks dengan perguruan Al-`Asyirotusy Syafi`iyyah di Gandaria, Jakarta Selatan; makam Mu`allim Rasyid yang berada di dalam gedung perguruan Ar-Rasyidiyah, Kampung Mangga, Tugu Selatan, Jakarta Utara.
Ada pula kuburan ulama yang berada di kompleks pemakaman keluarga, seperti makam Guru Mughni, Kuningan, dan kubur Abuya KH Saifuddin Amsir yang dibangun sebagai makam keluarga yang berada persis di depan gedung pendidikan Islam dan bisnis yang didirikannya.
Sedangkan kuburan ulama Betawi yang berada di samping rumah ahli waris adalah kuburan KH Najihun, Duri Kosambi, Jakarta Barat yang berada persis di samping rumah anaknya. Yang mengenaskan adalah kuburan Guru Mujib bin Sa`abah, Tenabang, pengarang Maulid Rawi Bahasa Indonesia atau Rawi Melayu atau Rawi Betawi yang tidak diketahui di mana letaknya karena sudah tertimbun apartemen.
Dari sekian banyak kuburan ulama dan habaib di Jakarta, ada pula kuburan yang memang harus dipindahkan sebab sudah sangat dibutuhkan untuk kemashlahatan pembangunan kota Jakarta bahkan kepentingan nasional seperti kuburan Habib Hasan Al-Hadad di Koja, Jakarta Utara.
Keberadaan sebagian kuburan berada pada posisi tersebut karena ulama Betawi yang dikubur itu sebelum wafat memberikan wasiat kepada ahli warisnya agar dikubur di tempat tersebut untuk memudahkan ahli waris, murid-murid, atau orang-orang yang ingin menziarahi kuburan mereka. Namun, tidak semua ulama Betawi menyukai kuburannya diziarahi, seperti KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman.
Semasa hidupnya, karena paham keislamannya, beliau berwasiat kepada anak, cucu, mantu, dan kerabatnya agar ketika dia wafat kuburannya tidak boleh diziarahi. Jika mau berdoa untuknya tidak usah di kuburannya, cukup dari rumah saja. Maka sampai saat ini, anak, keturunannya, dan kerabat dekatnya tidak menziarahi makamnya untuk mendoakannya di Pemakaman Umum Menteng Pulo I, Jakarta Selatan.
Ustadz Rakhmad Zailani Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua