Apakah Nahdlatul Ulama akan menerima kriteria Imkan Rukyah baru (disebut juga kriteria Neo–MABIMS dalam kajian LFNU)? Dan apakah Nahdlatul Ulama juga akan menerapkan kriteria yang telah diberlakukan Menteri Agama RI sejak awal 2022 dalam fungsi gandanya seperti kebiasaan berlaku selama ini, yakni sebagai kriteria pembentukan almanak sekaligus kriteria penerimaan hasil rukyah? Pertanyaan–pertanyaan tersebut ditunggu-tunggu jawabannya, khususnya jelang Ramadhan 1443 H. Di balik jawaban untuk pertanyaan tersebut, terbentang panjang dialektika dan diskusi syariah–ilmiah yang merentang masa.
Lembaga Falakiyah PBNU telah menerbitkan pedoman penyusunan jadwal imsakiyah Ramadhan 1443 H melalui surat edaran bernomor 008/LF–PBNU/III/2022 tertanggal 4 Sya’ban 1443 H (7 Maret 2022) yang ditandatangani pelaksana tugas ketua dan sekretaris. Dalam pedoman dinyatakan, khusus pada baris pertama diisikan data hari Sabtu 2 April 2022. Klausul demikian berlandaskan kepada Almanak Nahdlatul Ulama 2022 M yang telah ditetapkan melalui surat keputusan Lembaga Falakiyah PBNU nomor 001/SK/LF–PBNU/X/2021 berdasarkan hasil penyerasian hisab Nahdlatul Ulama 2021. Keputusan itu selanjutnya diimplementasikan dalam Kalender Hijriyyah Nahdlatul Ulama (KHNU) 2022 atau disebut pula Almanak 2022 yang dirilis ke publik. Hingga berakhirnya masa khidmah Lembaga Falakiyah PBNU 2015–2021, keputusan tersebut belum direvisi sehingga tetap berlaku.
Dalam almanak, 29 Sya’ban 1443 H bertepatan dengan Jumat 1 April 2022. Data penyerasian hisab menunjukkan tinggi hilal mar’i di seluruh Indonesia pada saat ghurub adalah bervariasi dari 1º 12’ (di Jayapura) hingga 2º 06’ (di Pelabuhan Ratu). Sementara elongasi hilal juga bervariasi dari 2º 57’ (di Merauke) hingga 3º 38’ (di Lhoknga). Garis tinggi hilal 2º melintas di pantai timur pulau Sumatera hingga ujung timur pulau Jawa (membelah Jawa Timur menjadi dua). Sehingga daerah–daerah di pulau Sumatera (kecuali pantai timur), Jawa bagian barat–tengah dan Jawa Timur bagian selatan saja yang memenuhi kriteria kalender saat itu (yakni imkan rukyah 2º dengan elongasi 3º). Sehingga almanak mencantumkan awal Ramadhan adalah Sabtu 2 April 2022.
Di sisi lain, pemerintah Republik Indonesia telah memberlakukan kriteria imkan rukyah yang baru, yakni kriteria Neo–MABIMS, sebagai kriteria kalender qomariyah mulai awal tahun 2022 ini. Hal tersebut dinyatakan dalam surat pemberitahuan bernomor B–79/DJ.III/HM. 00/02/2022 yang ditandatangani Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam. Surat yang berdasarkan pada ad–referendum Menteri Agama RI tentang persetujuan kriteria imkan rukyah baharu MABIMS yang ditujukan kepada pertemuan semi–resmi menteri–menteri agama / urusan agama Islam Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia dan Republik Singapura (MABIMS) pada Desember 2021. Maka kriteria kalender qomariyah Indonesia telah berubah menjadi kriteria Neo–MABIMS dengan parameter: tinggi hilal mar’i 3º dan elongasi hilal 6,4º. Meski perubahan kriteria ini ternyata belum diikuti tertib administrasi lainnya. Yakni perubahan pada Takwim Standar Indonesia 2022, sebagai almanak yang telah merangkum seluruh sistem hisab.
NU dan Neo–MABIMS
Kriteria Neo–MABIMS mulai diusulkan per 2009 silam dalam temu ilmiah di Observatorium Bosscha (Jawa Barat), meski saat itu menggunakan nama lain. Pada temu ilmiah yang sama sesungguhnya juga ada usulan kriteria lain, misalnya kriteria RHI (di mana penulis menjadi salah satu pengusungnya).
Kriteria Neo–MABIMS dibangun di atas dua parameter : tinggi hilal minimum dan elongasi hilal minimum. Tinggi hilal minimum mengutip riset Moh. Ilyas (Ilyas, 1988), seorang cendekiawan falak terpandang dari Malaysia. Yakni pada beda–tinggi Bulan–Matahari 4º, yang selanjutnya diterjemahkan sebagai tinggi hilal mar’i minimal 3º (dengan mempertimbangkan koreksi atmosfer dan piringan Matahari). Sedangkan elongasi hilal minimum mencuplik riset Mohd. Odeh (Odeh, 2004), cendekiawan falak Yordania yang mengorganisir kampanye rukyah hilal berkelanjutan di bawah payung ICOP. Yaitu pada elongasi minimal 6,4º. Sehingga kriteria Neo–MABIMS menjadi tinggi hilal minimal 3º dan elongasi hilal minimal 6,4º.
Rasionalisasi fisis di balik parameter matematis tersebut adalah respon atmosfer Bumi dengan sifat optisnya terhadap pencahayaan Matahari. Saat Matahari tepat terbenam di ufuk barat, maka kombinasi peristiwa pembiasan–hamburan–serapan pada berkas cahaya Matahari menyebabkan seorang perukyah akan menyaksikan bagian cahaya senja yang lebih terang (khususnya di sekitar azimuth terbenamnya Matahari) dibanding bagian langit yang lebih jauh. Kala kedudukan Matahari terus menurun di bawah ufuk barat, maka luasan–tampak bagian cahaya senja yang lebih terang turut menyusut gayut waktu sembari kian menampakkan dirinya sebagai bentuk ‘kubah cahaya’. ‘Kubah cahaya’ itu dibatasi oleh jarak sudut (elongasi) terhadap Matahari.
Saat sebuah benda langit seperti Bulan (dalam bentuk sabit) berkedudukan dalam ‘kubah cahaya’ ini (bila dilihat dari Bumi), maka intensitas cahaya Bulan akan terkalahkan oleh intensitas cahaya senja pada titik di dalam ‘kubah’. Sehingga perukyah takkan bisa menyaksikan lengkungan sabit Bulan. Sebaliknya saat Bulan berkedudukan di luar kubah, intensitas cahayanya akan lebih besar dibanding intensitas cahaya senja di titik itu. Sehingga lengkungan sabit Bulan bisa dilihat. Inilah yang melandasi tampak–tidaknya benda–benda langit malam di saat senja/fajar. Dimana bukan hanya posisinya (tinggi dan azimuth) yang menentukan, namun juga sifat optis atmosfer dan keterbatasan kemampuan mata manusia sebagai sebuah alat optik.
Sedari awal kriteria Neo–MABIMS tidak sepi dari kritik ilmiah. Misalnya terkait pembentukannya yang mencampuradukkan dua parameter berbeda dari dua riset yang berbeda pula. Sehingga mengesankan terjadi ‘talfiq falak’. Tinggi mar’i 3º produk riset Moh. Ilyas sesungguhnya hanya berlaku pada elongasi minimal 30º. Sementara elongasi 6,4º dari analisis Mohd. Odeh, sebenarnya terjadi pada beda–tinggi 6,5º berdasarkan data pengamatan Jim Stamm di dataran tinggi Arizona (AS) pada 13 Oktober 2004. Tatkala dua riset berbeda dikutip sebagian dan dicampurkan, maka yang terbentuk adalah sebuah ketentuan baru yang berbeda dibanding maksud awal yang diniatkan tiap–tiap perisetnya.
Nahdlatul Ulama melalui LFNU pun pernah menyampaikan kritik konstruktif pada akhir 2017 silam. Yakni manakala terdapat upaya–upaya untuk mendorong kriteria Neo–MABIMS ke tingkat global untuk menjadi pelengkap bagi usulan Kalender Hijriyyah Global (KHG) produk Kongres Penyatuan Kalender Hijriyyah Internasional di Istanbul (Turki) 28–30 Mei 2016. Idealita yang dibangun, apabila hemisfer barat (yakni benua Eropa, Afrika dan Amerika) telah memenuhi kriteria KHG, maka Asia Tenggara juga telah memenuhi kriteria Neo–MABIMS dan di tengah–tengah Samudera Pasifik (yakni di garis bujur 180º) telah memenuhi kondisi wujudnya hilal. Faktualnya, simulasi 50 tahun (dari 2015 hingga 2065) yang dibatasi hanya pada awal Ramadhan/Syawwal/Dzulhijjah saja sudah memperlihatkan bahwa upaya pengglobalan itu bermasalah. Sebab dari 156 data kedudukan Bulan–Matahari pada kondisi tersebut, hanya pada 23 data saja (setara 15 %) idealita yang dimaksud terpenuhi. Sedikitnya proporsi menunjukkan asumsi globalitas yang dibangun tidak sesuai dengan realitas.
Menerapkan Neo–MABIMS?
Dalam ilmu pengetahuan, konsensus ilmiah merupakan penilaian kolektif sebagai kesepakatan umum komunitas cendekiawan dalam bidang tertentu. Pada saat ini kriteria Neo–MABIMS telah menjadi sebuah konsensus ilmiah di kalangan cendekiawan falak. Terutama setelah dibahas dan disepakati bersama dalam forum MABIMS sebagai representasi negara–negara berpenduduk mayoritas Muslim di Asia Tenggara. Konsensus terhadap kriteria Neo–MABIMS memang tidak bulat, terdapat banyak catatan di sana–sini. Konsensus demikian yang nampaknya melandasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Agama untuk mengumumkan penerapannya di tanah air mulai tahun 2022 ini.
Bagaimana dengan Nahdlatul Ulama? Sepanjang 2021 lalu, Lembaga Falakiyah PBNU melaksanakan kajian berkelanjutan terkait isu–isu di seputar awal bulan Hijriyyah melalui Tim Kajian Awal Bulan Hijriyyah yang dibentuk. Isu–isu tersebut mengerucut pada dua aspek yang dikerjakan secara paralel. Pertama adalah aspek fiqih, yang dituangkan dalam butir–butir permasalahan untuk diusulkan dibahas dalam Muktamar. Sedangkan yang kedua adalah aspek falak, yang disepakati disesuaikan dengan aspek fiqih dan pembahasannya gayut terhadap keputusan Muktamar terkait aspek fiqih.
Aspek fiqih itulah yang kemudian dibahas pada bahtsul masa’il komisi Diniyah Waqi’iyah pada Muktamar ke–34 Nahdlatul Ulama di Lampung tahun 2021 lalu. Dimana terdapat tiga keputusan terkait kedudukan ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah. Pertama, konsep imkan al–rukyah yang dapat menjadi syarat bagi diterimanya laporan rukyah sepanjang berdasarkan sekurangnya pada lima metode falak qath’iy (yang tergolong dalam sistem haqiqy tahqiqy, haqiqy tadkiky, ‘ashri dan kontemporer) menghasilkan kesimpulan serupa. Kedua, apabila sekurangnya lima metode falak qath’iy tersebut menunjukkan bahwa hilal di bawah ufuk (terbenam lebih dulu dibanding matahari) pada suatu tanggal 29 Hijriyyah, maka rukyah hilal tidak lagi wajib untuk diselenggarakan. Dan yang ketiga, terbentuknya konsep nafiul istikmal atau qath’iy al–rukyah. Yakni apabila sekurangnya lima metode falak qath’iy menunjukkan kedudukan hilal sudah sangat tinggi pada tanggal 29 Hijriyyah namun hilal tidak terlihat walaupun sudah diselenggarakan rukyah hilal secara maksimal, maka ikmal dapat dinafikan bilamana keputusan ikmal pada saat itu menyebabkan bulan Hijriyyah berikutnya berumur hanya 28 hari.
Tiga keputusan tersebut melandasi terbentuknya konsep imkan al–rukyah Nahdlatul Ulama (IRNU) dan qath’iy al–rukyah Nahdlatul Ulama (QRNU). IRNU merupakan ‘batas bawah’ dan berfungsi ganda, baik sebagai ambang batas penerimaan laporan rukyah maupun sebagai ambang batas untuk pembentukan almanak / kalender. Sedangkan QRNU menjadi ‘batas atas’, yang menjadi perwujudan dari sabda Rasulullah SAW “...assyahru hakadza wa hakadza...” (bulan Hijriyyah bisa 29 hari dan bisa pula 30 hari). Terbentuknya dua konsep simultan ini juga dipandang sebagai ‘pemenuhan janji’ Lembaga Falakiyah PBNU yang telah disampaikan pada publik di akhir 2017 silam tentang perlunya kajian komprehensif terkait awal bulan Hijriyyah.
Apakah kriteria Neo–MABIMS dapat diterapkan menjadi kriteria IRNU menjadi bagian eksplorasi pasca Muktamar. Dalam pertemuan terkini akhir Februari 2022 lalu, yang dikoordinasi pelaksana tugas sekretaris Lembaga Falakiyah PBNU dan turut dihadiri representasi cendekiawan falak Nahdliyin dari wilayah dan cabang, terbentuk sebuah konsensus. Yakni kriteria Neo–MABIMS dapat dijadikan sebagai kriteria IRNU.
Dukungan terhadap kriteria Neo–MABIMS sebagai kriteria IRNU tak semata datang dari telah terbentuknya konsensus ilmiah di kalangan cendekiawan falak Indonesia dan keputusan Menteri Agama RI. Namun juga berdiri di atas tiga landasan ilmiah. Pertama, simulasi kedudukan Bulan dan Matahari pasca ijtimak dalam 185 tahun Hijriyyah (183 tahun Miladiyah, dari Agustus 1924 hingga Februari 2103) oleh Hendro Setyanto dan Dr. Khafid (Setyanto & Khafid, 2015) menunjukkan hanya mulai dari elongasi 6,4º saja kondisi Bulan masih di atas ufuk saat ghurub (terbenam lebih lambat dibanding Matahari) akan terjadi. Sehingga bisa menjadi landasan ilmiah bagi butir kedua keputusan Muktamar ke–34 terkait kedudukan ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah.
Kedua, simulasi lainnya tentang kedudukan Bulan dan Matahari pasca ijtimak dalam 300 tahun Miladiyah (Setyanto & Sudibyo, 2021) menunjukkan umur lunasi (rentang waktu di antara dua peristiwa ijtimak yang berurutan) ternyata membentuk sebuah pola khas. Sepanjang 300 tahun, umur lunasi rata–rata adalah 29 hari 12 jam 43 menit. Apabila seluruh data lama lunasi lebih besar dari rata–rata dimasukkan dalam kelompok umur lunasi 30 hari dan demikian sebaliknya, diperoleh komposisi 53 % umur lunasi 30 hari dan 47 % umur lunasi 29 hari. Dan yang ketiga, saat pada simulasi yang sama dimasukkan kriteria neo–MABIMS sebagai kriteria IRNU (Setyanto & Hasanuddin, 2022), dijumpai terdapat 53 % bulan Hijriyyah yang panjangnya 30 hari dan sisanya 47 % bulan Hijriyyah panjangnya 29 hari.
Dapat disimpulkan secara substantif, cendekiawan falak Nahdliyin dapat menerima kriteria Neo–MABIMS sebagai kriteria IRNU. Akan tetapi Nahdlatul Ulama adalah sebuah jamiyyah yang memiliki tata aturannya sendiri. Sehingga penerimaan dan pemberlakuan kriteria Neo–MABIMS dalam Nahdlatul Ulama secara formal akan melintasi alurnya sendiri. Dapat dikatakan, salah satu faktor yang menentukan adalah penetapan kepengurusan Lembaga Falakiyah PBNU masa khidmah 2022–2027 (bersama dengan penetapan pengurus lembaga–lembaga lainnya di PBNU). Taat asas inilah yang menjadi landasan bagi pedoman penyusunan jadwal imsakiyah Ramadhan sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Muh. Ma’rufin Sudibyo, Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah PBNU Masa Khidmah 2020–2021