Menilai kesuksesan sistem pendidikan dan majunya dunia keilmuan dengan tolok ukur peradaban, bisa dilihat dari seberapa banyak penerima hadiah Nobel dari negara tertentu.
Dalam obrolan lepas bersama seorang teman di taman baca Jalan Semarang, Surabaya, sang teman mengutip ucapan Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo, yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia menjadi bodoh semenjak mereka sekolah (formal). Ucapan ini begitu menghentak, bagaimana mungkin sekolah yang merupakan pusat ilmu, justru menjadi penyebab kebodohan?
Mengutip Agus Sunyoto, Andre menjelaskan bahwa zaman dahulu orang Indonesia, dalam hal ini Jawa, mampu menciptakan sesuatu yang konkret bagi peradaban mereka. Seperti kalender Jawa yang mengakomodasi kebutuhan lintas peradaban. Pada mulanya, orang Jawa menggunakan kalender Saka yang merujuk pada peradaban Hindu India dengan perhitungan matahari. Pada tahun 1625, Sultan Agung, pemimpin kerajaan Mataram Islam, menginginkan agar kalender Hijriah digunakan tanpa meninggalkan begitu saja kalender yang telah ada (Saka). Untuk itu dipadukanlah antara perhitungan matahari dan bulan sehingga dalam kalender Jawa ada hari pasaran peninggalan Saka sebanyak lima hari dalam seminggu, dan ada tujuh hari dalam seminggu sesuai Hijriah. Keduanya berjalan beriringan dan masih berlaku hingga kini. Seperti Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya, setiap Kamis Wage mengadakan khataman Al-Qur’an bil ghaib (lewat hafalan, red) yang ketemu lima minggu sekali.
Dengan penamaan seperti ini selain melestarikan budaya Jawa, ia juga lebih praktis dalam pengucapan. Bukan seperti setiap ‘Kamis akhir bulan’ yang tiga kata. Seperti nama acara band ‘Jazz mben Senin’ di Kompas Jogja yang sebenarnya sebulan sekali. Lebih praktis ditambah nama pasaran Senin Legi, seumpama. Penambahan ini akan menjadikan orang lebih berpikir dan arif karena ada makna simbolik di balik itu. Orang memiliki dua paradigma lunar dan solar dalam alam pikirnya. Tidak sekadar nilai praktis dan efisien semata seperti yang didengungkan orang modern.
Yang menarik lagi, kalender Jawa yang mengikuti Hijriah tidak mengikuti begitu saja tahun Hijriah yang pada 1633 M saat Sultan Agung menetapkan penggunaannya jatuh pada 1035 H, tapi melanjutkan tahun Saka: 1547. Sehingga sekarang jatuh pada tahun Jawa 1953 (1441H/2020M)
Selain kemampuan memadukan perhitungan bulan dan matahari yang mengandung kecerdasan simbolik dan kosmologis, pada abad ke-15 Masehi, orang Jawa melalui Sunan Bonang mampu menciptakan alat musik gamelan dengan presisi suara yang tinggi. Kenong, gong, dan alat perkusi lainnya dalam grup gamelan dibuat dari logam dengan teknologi yang menghasilkan jenis suara yang diinginkan. Bagaimana pandai besi melakukannya dengan segala keterbatasan fasilitas saat itu, menunjukkan bahwa sudah ada sense of art yang bukan sekadar bisa tapi ahli bahkan doktor atau pencetus. Belum lagi materi tembang yang diciptakan dan pesan yang disampaikan yang menunjukkan peradaban yang tinggi yang tampak orkestra musik yang ada.
Jika itu di Jawa, di luar Jawa pun masyarakat Indonesia memiliki produk peradaban yang membanggakan. Meski, pernyataan Agus Sunyoto tidak bisa ditelan mentah-mentah. Bahwa Agus menafikan proses berhentinya peradaban Indonesia semenjak masa penjajahan akibat dari kekalahan Sultan Agung dalam perang Batavia, 1628, untuk mengusir VOC dari Jawa. Di mana semenjak itu rakyat Indonesia tidak lagi menjadi tuan bagi dirinya sendiri, namun setidaknya pernyataan itu, bahwa orang Indonesia menjadi bodoh semenjak sekolah, menjadi teguran keras tentang produk peradaban apa yang dihasilkan dari sistem pendidikan formal Indonesia?
Bangsa Indonesia terjebak pada formalisme dan prosedur pendidikan yang membuat mereka bermental taklid dan tidak kompetitif. Jika dalam diskursus peradaban Islam taklid sebagai hilangnya ijtihad (olah nalar) karena terbelenggu pandangan otoritatif yang ada dalam kitab kuning, maka taklid di sini adalah taklid modern. Di mana sistem pendidikan dan dunia keilmuan selalu mengekor terhadap model dan standar Barat dan orang lain. Akhirnya, dunia pendidikan sibuk dengan penyesuaian-penyesuaian dan penerjemahan hingga lupa bahwa dirinya mampu membangun sendiri tanpa mengekor kepada yang lain.
Memang dalam mengejar ketertinggalan, sebuah bangsa terkondisikan untuk mengikuti kemajuan bangsa lain. Tapi, jangan sampai menghilangkan daya kreatif apalagi sampai mengorbankan moralitas keilmuan demi mengikuti pattern global. Dalam hal ini, tampak bahwa sekolah, perguruan tinggi dan pendidikan formal di Indonesia kurang memiliki gairah penemuan dan lebih disibukkan dengan urusan teknis akademis dan prosedur formal untuk mengejar jenjang dan gelar akademis semata. Al Makin, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada pengukuhan guru besarnya mengkritik keras birokratisasi akademis yang mengakibatkan mandeknya gairah penelitian yang berkualitas. Kerja penelitian disibukkan dengan urusan administrasi yang terkadang lebih sulit dari penelitian itu sendiri. Ini berlangsung lama di negeri ini semenjak era Soeharto hingga kini saat aturan publikasi karya ilmiah di Jurnal Internasional membuat banyak akademisi menyewa jasa orang lain dengan biaya mahal.
Menilai kesuksesan sistem pendidikan dan majunya dunia keilmuan dengan tolok ukur peradaban, bisa dilihat dari seberapa banyak penerima hadiah Nobel dari negara tertentu. Indonesia, sungguh mengharukan, hingga kini tidak ada satu pun ilmuwan Indonesia yang meraihnya. Baik dalam bidang keilmuan maupun perdamaian. Amerika adalah penerima terbanyak: 385, disusul Inggris: 133, dan Jerman: 102. Dari Asia, China: 8, India: 11, Jepang: 28. Di kalangan negara Islam, Mesir menerima 4 hadiah Nobel: 2 di bidang kimia dan sastra dan 2 di bidang perdamaian. Turki pun mendapat 2 hadiah Nobel (di bidang kimia dan sastra).
Hadiah Nobel menunjukkan korelasi yang nyata antara kualitas pendidikan dan keilmuan dan output peradaban. Capaian ini menunjukkan tepatnya sistem pendidikan di sebuah negara berjalan di atas rel yang benar. Jika tidak, maka ada masalah yang serius dalam sistem pendidikan dan budaya keilmuan kita sehingga perlu perubahan revolusioner.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya