Opini

Badai Disinformasi: Racun Digital yang Merobek Nalar dan Tatanan Sosial

Senin, 1 Desember 2025 | 07:39 WIB

Badai Disinformasi: Racun Digital yang Merobek Nalar dan Tatanan Sosial

Ilustrasi banjir informasi (Foto: Freepik)

Kita hidup dalam era di mana perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih dan cepat. Informasi menjadi komoditas yang melimpah membanjiri otak kita, tanpa harus dicari informasi lebih dulu menghampiri. Notifikasi di semua teknologi komunikasi yang kita miliki berdenting setiap menit, pesan-pesan berantai berserakan di semua kanal media kita, WhatsApp, Instagram, Facebook, Tiktok dan lain sebagainya. 


Informasi saat ini ibaratnya seperti udara yang kita hirup. Semakin bersih kualitas udara, maka semakin baik kehidupan kita. Sadarkah kita bahwa ada bahaya yang mengancam dalam setiap informasi yang kita konsumsi? Terlebih jika itu adalah informasi yang salah atau disinformasi.  


Disinformasi bukan sekadar kabar bohong. Ia adalah informasi yang sengaja diproduksi untuk mengaburkan, memecah, memanas-manasi, atau mempengaruhi cara pandang kita. Yang mengerikan, ia sering dibungkus rapi dengan bahasa meyakinkan, seolah-olah “paling tahu”, “paling benar”, atau “paling dekat dengan sumber.” Padahal, isinya sama sekali tidak mewakili realitas yang ada dan jauh dari kenyataan. 


Pada situasi tertentu terlebih saat dalam dinamika konflik, disinformasi seperti racun yang bukan saja merusak nalar individu, tetapi juga tatanan sosial sebuah komunitas atau kehidupan bernegara. Disinformasi bekerja seperti kabut, menutupi pandangan, mengaburkan motif, dan membuat kita menabrak satu sama lain tanpa sadar. Yang lebih gawat, ia kerap diterima bulat-bulat bukan karena kebenarannya, melainkan karena kecepatan penyebarannya.


Disinformasi, Senjata terlembut dan Paling Mematikan 
Dalam kajian ilmu komunikasi, disinformasi berbeda dari misinformasi. Misinformasi adalah informasi salah yang disebarkan tanpa niat jahat. Sementara disinformasi adalah informasi yang sengaja diproduksi, dipoles, dan disebarkan untuk tujuan tertentu: memecah, mengacau, memanipulasi persepsi, atau menciptakan sentimen tertentu. 


Dalam pandangan teori Agenda Setting (McCombs & Shaw, 1972), media membentuk apa yang kita pikirkan sebagai “isu penting.” Ketika disinformasi memanfaatkan mekanisme ini melalui media sosial, akun anonim, atau pesan berantai, proses pembentukan agenda publik dapat dibajak oleh aktor tertentu. Bahkan, teori Priming (Iyengar, 1991) menjelaskan bahwa cara isu disajikan akan menentukan cara publik menilai seseorang atau kelompok. Disinformasi pada akhirnya bukan hanya “berita palsu,” tapi strategi sistematis untuk membentuk penilaian publik.


Dalam tatanan sosial, baik kehidupan bernegara atau suatu organisasi dan komunitas, efek ini menjadi lebih kompleks. Misalnya, di komunitas tertentu ada yang memiliki struktur kepercayaan, hirarki otoritas, dan sensitivitas sosial yang lebih tinggi. Ketika informasi keliru, merambah ruang-ruang obrolan anggota, melalui grup WhatsApp keluarga, atau forum internal komunitas, ia tidak hanya menyimpangkan fakta tetapi juga dapat membelahnya menjadi kelompok-kelompok yang beradu kebenaran semu. 


Lebih dari itu, informasi yang keliru ini juga akan mendorong pada situasi ketegangan yang semakin runcing, baik secara vertikal maupun horizontal. Otoritas kepakaran ilmu atau kepemimpinan dalam tatanan sosialnya tidak lagi berlaku, yang ada hanya kepemimpinan opini akan kebenaran yang bias dan absurd. 


Kondisi semacam ini kemudian diperparah dengan watak kecenderungan manusia, memercayai informasi yang cocok dengan prasangkanya yang disebut oleh Kahneman (2011) sebagai confirmation bias. Disinformasi memanfaatkan bias ini, sehingga sering kali orang merasa “benar” padahal yang diyakini berasal dari kabar bohong. 


Jika kita menengok sejarah Islam, disinformasi bukanlah fenomena baru. Ia pernah menjadi sebab tragedi besar yang mengguncang politik, mengorbankan nyawa, dan meninggalkan luka panjang dalam peradaban. Diantara contoh yang dapat kita jadikan ibrah dan hikmah, seperti peristiwa tuduhan zina terhadap Aisyah RA., Perang Jamal dan Perang Shiffin.


Badai Informasi dalam Konflik, Mengapa Kita Mudah Terseret Arus? 
Dalam kajian ilmu komunikasi modern memberikan gambaran tentang kondisi manusia yang memiliki kemampuan terbatas dalam memproses informasi. Annie Lang (2000) melalui Limited Capacity Model menjelaskan bahwa; Kapasitas perhatian terbatas, Informasi terlalu cepat dan banyak menyebabkan pemrosesan dangkal, dan Emosi mengalahkan rasionalitas ketika beban informasi tinggi.


Kita sudah tau, bahwa di media sosial, algoritma cenderung memprioritaskan konten yang memicu amarah, kekecewaan, dan ketakutan, karena konten semacam itu paling mudah viral. Penelitian Kramer (2014) menunjukkan bahwa emosi di media sosial bersifat contagious, atau penularan emosional. Satu pesan provokatif bisa menciptakan gelombang emosi kolektif dalam hitungan menit. 


Dalam konteks ikatan sosial bagi kehidupan bersama, ini berbahaya. Reaksi emosional dapat menimbulkan akal sehat yang tidak eling dan waspada, tabir penghalang dialog yang rasional, dan perpecahan dalam ikatan dan kaitan yang sudah tertata. Lantas, bagaimana upaya untuk menghindarinya?


Bagaimana Akal dan Nurani Menghindari Fitnah Informasi?
Bagi kita, yang mengaku sebagai santri atau seorang yang hidup di lingkungan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah, tidak sedikit ilmu dan keteladanan diajarkan kepada kita dari para pendahulu. Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, informasi bukan sekadar teks yang didengar atau dibaca, tidak cukup sami’na wa atha’na, tapi juga harus sami’na wa analisa wa atha’na. 


Bukankah dalam persoalan semacam ini kita juga sudah diajarkan tentang konsep tabayyun, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran Surat Al Hujrat ayat ke 6?. Bahwa “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.”


Ayat ini tidak hanya memerintahkan verifikasi berita, tetapi mencegah tindakan gegabah yang dapat merusak hubungan sosial. Metodologi berfikir ulama Aswaja sejak dulu sangat ketat dalam menjaga keabsahan informasi. Sebagaimana Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam melakukan penulisan hadits. 


Pada konsepsi demikian pulalah kita belajar menerapkan Aswaja bukan sekadar mazhab dalam prosuk pemikiran para ulama, tetapi juga prinsip metodologi berpikir para ulama yang kemudian sering kita sebut dengan istilah manhajul fikr.


Di sisi lain, Imam Al-Ghazali juga dalam Ihya Ulumuddin memberikan penjelasan, bahwa bahwa salah satu sebab terbesar kerusakan umat adalah kurangnya kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan berita. Beliau menegaskan bahwa akal dapat tertipu bila tidak disertai kehati-hatian. Dan salah satu ulama terbaik di negeri ini, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wal-Muta’allim juga mengingatkan, tentang pentingnya menjaga lisan, menghindari prasangka, dan tidak menyampaikan informasi yang belum jelas kebenarannya. 


Dalam tradisi sufistik juga kita diajarkan tentang kewaspadaan terhadap penyakit hati: marah, iri, dendam, atau keinginan memenangkan narasi tertentu. Inilah kondisi batin yang sering dimanfaatkan oleh disinformasi. Ketika hati keruh, seseorang mudah percaya pada kabar yang memperkuat emosinya, bukan pada kabar yang berbasis fakta.


Prinsip-prinsip tersebut tentunya sangat relevan dalam era digital dan informasi di zaman ini, di mana “lisan” berubah menjadi jari yang mudah menekan tombol share. Dengan demikian, perspektif Aswaja memberikan fondasi moral bagi kita untuk menghadapi disinformasi dengan kehati-hatian, adab, dan etika dalam komunikasi. 


Sementara itu, dalam lingkup keilmuan komunikasi, kita juga dikenalkan dengan konsep literasi informasi dalam media oleh James Potter (2022). Meskipun Potter sebenarnya lebih menggunakan istilah literasi media, tetapi prinsipnya dapat kita gunakan untuk menghindari bahaya disinformasi. 


Potter menjabarkan setidaknya ada lima kemampuan yang bisa kita gunakan dalam menvalidasi informasi, pertama adalah analisis sumber yang melingkupi pembacaan terhadap motif/niat, otoritas dan rekam jejaknya. Kedua, evaluasi konten dengan melihat fakta, opini, dan framing. Ketiga melakukan verifikasi dengan menggunakan sumber primer dan pembanding. Keempat kecerdasan emosional dalam mengelola reaksi diri kita terhadap informasi. Terakhir, adalah etika komunikasi dalam merespon informasi dengan tidak menyebar luaskan kabar tanpa kepastian. 


Sejatinya, dalam tradisi Aswaja, kemampuan semacam itu sudah diajarkan kepada setiap generasi sejak dulu, hanya saja istilahnya yang berbeda. Dan bagaimana para ulama terdahulu menekankan pentingnya silaturahim ilmiah, bertanya langsung kepada pihak yang berkaitan. Maka, kedua perspektif ini semakin melengkapi dan mengingatkan kita akan bahaya disinformasi ataupun berita yang keliru dan salah. Hal ini menjadi cara terbaik meredam distorsi informasi.


Disinformasi selalu menjadi ujian di setiap zaman, tetapi di kehidupan saat ini dengan teknologi yang semakin canggih, tentulah ujian itu semakin berat dan bertubi. Informasi dapat menjadi cahaya jika ia dalam dekapan kebenaran, tapi dapat menjadi petaka jika dalam selubung kegelapan. 


Dari tantangan ini, setidaknya kita bisa juga dapat mengambil pelajaran. Bahwa masyarakat yang kuat, negara yang kuat, komunitas/organisasi yang kuat adalah yang mampu menavigasi informasi, ilmu pengetahuan, dan akhlak dalam proses komunikasi sosial dan ekosistem informasi. 


Mahbub Ubaedi Alwi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Pemerhati Media dan Komunikasi Publik